"Harus ada bukti konkret dulu untuk melaporkan, kalau enggak ada, nanti bisa jadi fitnah kan," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyantodi di Mabes Polri, Senin (18/11/2013). Dia mengatakan, cukup sulit membuktikan sebuah kasus penyadapan.
Dalam kasus dugaan penyadapan oleh Australia, Arief mengatakan sejauh ini tak ada bukti kuat yang mendukung ada atau tidaknya tindakan tersebut. Bila Polri tergesa-gesa melakukan penyelidikan, kata Arief, dikhawatirkan itu justru bakal memperkeruh hubungan Indonesia dan Australia.
Arief mengatakan pula bahwa dalam kasus penyadapan penyidik, Polri harus tahu terlebih dahulu apa yang disadap. Bila memang yang disadap adalah percakapan melalui telepon genggam, kata dia, Polri akan menerapkan UU terkait telekomunikasi.
Bila ada laporan dari Pemerintah Indonesia bahwa telah terjadi penyadapan itu, lanjut Arief, penyidikan akan dilakukan oleh unit Cyber Crime Investigation Centre (CCIC) Polri. Bukti yang dibutuhkan dalam kasus ini, sebut dia, adalah bukti otentik setidaknya digital call data record (CDR) untuk mengantisipasi tindakan asal tuduh.
"CCIC itu memberikan dan melakukan pemeriksaan barang bukti digital, seperti jejak-jejak yang ada di komputer, seperti kasus e-mail hijacking, kami lacak history-nya," ujar Arief.
Sebelumnya, informasi soal penyadapan terhadap Indonesia dilansir oleh AFP, Senin (18/11/2013).
Informasi tersebut didasarkan pada dokumen rahasia yang dibocorkan oleh bekas intel Amerika Serikat, Edward Snowden. Dokumen rahasia itu berhasil didapatkan oleh Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan media Inggris, The Guardian. Dokumen tersebut menunjukkan bahwa Presiden SBY dan sembilan orang yang masuk dalam lingkaran dalamnya menjadi target penyadapan Australia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.