Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Imparsial: Hukuman Mati Dipolitisasi Rezim SBY untuk Pemilu

Kompas.com - 15/11/2013, 18:28 WIB
Rahmat Fiansyah

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Program Imparsial Al Araf meminta pemerintah menghentikan sementara (moratorium) eksekusi hukuman mati terhadap para terpidana mati karena tidak menimbulkan efek jera. Ia pun berpendapat hukuman mati cenderung dipolitisasi rezim yang berkuasa demi kepentingan pemilu.

"Eksekusi hukuman mati akan selalu marak selama proses politik jelang pemilu. Ini menjadi bagian elektoral dalam pemenangan pemilu," katanya di kantor Imparsial, Jakarta, Jumat (15/11/2013).

Al Araf menuturkan, eksekusi hukuman mati cenderung meningkat tajam menjelang pemilu sejak rezim SBY berkuasa. Menjelang Pemilu 2009, angka eksekusi hukuman mati berjumlah 10 orang. Begitu juga dengan menjelang Pemilu 2014 yakni 4 dari 10 orang terpidana mati telah dieksekusi oleh Kejaksaan Agung.

"Berdasarkan catatan kami, tahun 2005 2 orang, tahun 2006 3 orang, tahun 2007 1 orang, tahun 2009 hingga 2012 bahkan tidak ada yang dieksekusi mati," jelasnya.

Menurutnya, hukuman mati hanyalah sebuah tontonan kepada masyarakat untuk memberikan kesan simbolis bahwa pemerintah telah bekerja. Pemerintah, katanya, memanfaatkan potensi suasana kebatinan masyarakat yang geram dengan kejahatan serius, seperti pembunuhan berencana dan narkoba. Dengan begitu, pemerintah berharap masyarakat kembali percaya kepadanya.

"Padahal kejahatan seseorang itu dipengaruhi oleh lingkungan sosial di sekitarnya. Ada peran negara dan masyarakat juga yang gagal dalam mengantisipasi kejahatan," katanya.

Al Araf berpendapat hukuman mati juga tidak berkorelasi positif terhadap menurunnya angka kejahatan. Berdasarkan laporan tahunan International Narcotics Control Board dalam kurun waktu 2001-2005, angka kejahatan narkoba justru meningkat setiap tahun sebesar 36,8 persen sejak hukuman mati diberlakukan pada awal tahun 2000.

"Menurut saya justru hukuman seumur hidup lebih menimbulkan efek jera asalkan sistem di lembaga pemasyarakatan benar," tandasnya.

Kelemahan hukuman mati

Al-Araf menyatakan, terdapat kelemahan serius dalam pemberlakuan hukuman mati. Kelemahan tersebut adalah bahwa hukuman mati tidak dapat dikoreksi apabila vonis tersebut salah. Hal ini, katanya, semakin diperburuk dengan sistem hukum yang "amburadul".

Dengan kata lain, dengan sistem hukum yang korup seperti sekarang ini, vonis hukuman mati rentan salah vonis. Ia juga menambahkan pemberlakuan hukuman mati juga dapat menyulitkan pemerintah dalam diplomasi internasional terkait eksekusi mati buruh migran yang berada di luar negeri.

Dengan demikian, sebagai bangsa yang beradab, Indonesia seharusnya menghentikan, dan bila perlu menghapus hukuman mati. "Berdasarkan data PBB juga sudah ada 35 negara yang melakukan penghentian eksekusi mati, meski UU-nya ada," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com