"Bisa dikatakan demikian, arogansi partai besar. Supaya yang punya peluang maju sebagai kandidat presiden dari lingkungan partai besar. Walaupun, kalau mau jujur, tidak ada partai besar di Indonesia (yang mampu mengusung sendiri). (Perolehan suaranya) semuanya di bawah 30 persen," tuka pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris di Jakarta, Rabu (25/9/2013).
Haris mengatakan, UU Pilpres sudah sepatutnya direvisi. Pasalnya, penetapan ambang batas pilpres sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tidak masuk akal dan bertentangan dengan semangat demokrasi.
“Karena memang tidak lazim untuk maju jadi capres itu parpol musti memiliki suara sekian persen. Di negara mana pun tidak ada aturan begitu," imbuhnya.
Menurut Haris, penetapan ambang batas pada pemilu seharusnya diberlakukan pada pemilu legislatif saja. “Kita sudah punya ambang batas Parlemen. Itu saja yang dipakai,” katanya.
Saat ini, DPR masih membahas revisi UU Pilpres. Terjadi perbedaan pandangan di antara anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR. Diberitakan, sebanyak empat fraksi bersikeras agar UU Pilpres diubah. Mereka adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura.
Sedangkan, lima fraksi lainnya menilai UU Pilpres tak perlu diubah. Mereka adalah Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Menurut UU Pilpres 2008, pasangan capres dan cawapres harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.