Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/08/2013, 12:54 WIB
James Luhulima

Penulis


KOMPAS.com- Tanggal 17 Agustus mendatang, Indonesia akan memperingati kemerdekaannya yang ke-68. Namun, di usianya yang ke-68 itu, Indonesia belum memiliki sistem atau cara untuk menemukan calon presiden yang ideal untuk dipilih.

Tahun 2014, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden lagi, tetapi hingga kini belum ditemukan calon presiden yang dianggap benar-benar cocok untuk memimpin negeri ini. Pemilihan presiden pada tahun 2014 dianggap penting karena dalam pemilihan presiden itu akan muncul presiden baru, yang akan menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Undang-undang mengatur bahwa presiden Indonesia hanya boleh memerintah selama dua periode, masing-masing periode lima tahun. Setelah itu, ia tidak diperkenankan untuk mencalonkan diri kembali. Yudhoyono pertama kali terpilih sebagai presiden tahun 2004, dan tahun 2009 ia terpilih kembali untuk kedua kalinya.

Persoalannya, hingga kini, sekitar satu tahun lagi, Indonesia sama sekali belum memiliki bayangan mengenai siapa yang akan menggantikan Yudhoyono. Memang ada beberapa nama yang kerap kali disebut-sebut sebagai calon presiden, tetapi sebagian besar adalah nama-nama lama yang di masa lalu kalah populer dibandingkan dengan Yudhoyono.

Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Wiranto adalah beberapa nama yang selalu disebut-sebut sebagai calon presiden setiap menjelang pemilihan presiden tiba, tetapi perolehan suara mereka dalam pemilihan presiden jauh di bawah suara yang diperoleh Yudhoyono. Menjelang Pemilihan Presiden 2014, nama-nama itu muncul kembali. Dari beberapa survei dan pengumpulan pendapat (polling), Prabowo Subianto termasuk salah satu calon yang populer.

Banyak yang menyatakan, pilihan kepada Prabowo itu diambil karena orang-orang yang disurvei menganggap Presiden Yudhoyono kurang tegas dan agak lambat dalam mengambil keputusan. Mereka lebih condong kepada Prabowo yang mereka anggap tegas dan cepat dalam mengambil keputusan.

Namun, perlu disadari, pilihan itu hanyalah hasil dari sebuah survei yang respondennya terbatas apabila dibandingkan dengan pemilih yang jumlahnya ratusan juta. Dalam pemilihan presiden yang pesertanya jauh lebih banyak, hasilnya mungkin saja berbeda.

Akhir-akhir ini, bahkan nama Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, yang menjadi tokoh kesayangan media (media darling), muncul dan dimunculkan dalam survei atau polling yang diadakan oleh lembaga-lembaga independen.

Hasilnya, Joko Widodo dianggap sebagai calon presiden terfavorit mengalahkan tokoh-tokoh lain. Padahal, performa Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta belum teruji mengingat ia baru menduduki jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, 15 Oktober 2012. Dengan kata lain, belum satu tahun.

Terheran-heran

Kita terheran-heran melihat bagaimana pemilih di Indonesia menjatuhkan pilihannya dalam pemilihan presiden. Pengalaman menunjukkan bahwa dukungan dari partai politik dalam pemilihan presiden tidaklah signifikan.

Dalam Pemilihan Presiden 2004, calon yang diusung Partai Golkar yang menempati urutan teratas dalam Pemilu Legislatif 2004 dikalahkan oleh Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat. Padahal, dalam Pemilu Legislatif 2004, Partai Demokrat hanya berada di urutan kelima. Hal serupa terulang dalam Pemilihan Presiden 2009. Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2009 menempati urutan kedua dengan perolehan 15.037.757 suara, tetapi calon yang diusungnya dalam Pemilihan Presiden 2009 hanya meraih 1.847.958 suara.

Ketika Yudhoyono meraih suara terbanyak dalam Pemilihan Presiden 2004, argumen yang diajukan adalah kemenangan itu dicapai karena ia berhasil menarik simpati pemilih dengan mencitrakan dirinya sebagai orang yang teraniaya. Ia mencitrakan dirinya sebagai orang yang diperlakukan dengan tidak semestinya dan kemudian disingkirkan oleh Presiden Megawati. Citra sebagai orang yang teraniaya itu menjadikan Yudhoyono mengalahkan Presiden Megawati dalam Pemilihan Presiden 2004.

Saat memerintah (2004-2009) banyak yang kecewa dengan performa Presiden Yudhoyono. Ia dinilai kurang tegas dan agak lambat dalam mengambil keputusan. Bahkan, beberapa survei yang diadakan untuk menilai performa Yudhoyono menunjukkan adanya penurunan popularitas. Akan tetapi, ketika ia maju lagi dalam Pemilihan Presiden 2009, ia terpilih kembali dengan jumlah suara yang sangat meyakinkan.

Pertanyaan yang sama muncul kembali. Apa yang menjadi pertimbangan pemilih di Indonesia dalam menjatuhkan pilihannya, baik itu di dalam pemilihan presiden maupun dalam pemilihan kepala daerah? Pertanyaan ini muncul karena tampaknya rekam jejak (track record) dan performa calon presiden ataupun calon kepala daerah sama sekali tidak menjadi pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihannya.

Itu juga yang menjelaskan mengapa banyak calon kepala daerah yang dinilai korup, atau yang tengah menjalani proses pengadilan karena tindak korupsi, menang dalam pilkada.

Jangan heran jika saat ini banyak yang sudah berandai-andai bahwa jika ada partai politik besar yang mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden, ia akan terpilih sebagai Presiden Indonesia untuk periode 2014-2019.

Yang dijadikan dasar untuk berandai-andai itu adalah hipotesa di atas, yakni rekam jejak dan performa calon presiden itu tidak dijadikan pertimbangan oleh pemilih. Dengan demikian, setiap tokoh yang memiliki popularitas yang tinggi mempunyai peluang untuk menjadi presiden Indonesia. Benarkah?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Nasional
Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Nasional
PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

Nasional
Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Nasional
Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Nasional
Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Nasional
Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Nasional
Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Nasional
[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

Nasional
Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Nasional
Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Nasional
PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

Nasional
KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com