Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marzuki: Kalau Patrialis Macam-macam, Urusannya sama Tuhan

Kompas.com - 01/08/2013, 05:39 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Penunjukan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi dari unsur pemerintah oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuai banyak kritik. Namun, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie menanggapi penunjukan itu dengan meminta masyarakat tak berprasangka buruk.

"Sudahlah kita percaya saja. Mereka kan hakim atas nama Tuhan. Kalau mereka macam-macam, nanti urusannya dengan Tuhan. Hakim wakil Tuhan di dunia, kalau tidak adil, sanksinya neraka," ujar Marzuki di Kompleks Parlemen, Rabu (31/7/2013). Dia berpendapat tak ada yang salah dengan penunjukan Patrialis.

Menurut Marzuki, bukan hanya Patrialis yang menjadi hakim konstitusi dengan latar belakang partai politik. Sebagai pembanding, dia menyebut nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua MK Akil Mochtar. Bila Patrialis berlatar Partai Amanat Nasional, Mahfud semula adalah politisi Partai Kebangkitan Bangsa dan Akil dari Partai Golkar. "Kecuali yang ditunjuk Presiden dari Partai Demokrat, itu patut dicurigai. (Patrialis) ini kan dari PAN," lanjut Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu.

Marzuki juga tak sependapat dengan kritik yang dilontarkan Koalisi Masyarakat Sipil yang dibentuk oleh gabungan lembaga swadaya masyarakat soal kegagalan Patrialis saat menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM. Menurut dia, reshuffle atas Patrialis lebih disebabkan pertimbangan proporsi "jatah" menteri di kabinet dari partai koalisi. "Karena jumlahnya dibatasi (dari tiap partai), akhirnya terpaksalah Menteri Hukum dan HAM digantikan orang lain, ada tukar-menukar. Saya tahu dia orang baik dan bela presidennya luar biasa," ungkap Marzuki.

Penunjukan Patrialis diprotes

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil mempertanyakan alasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Rekam jejak Patrialis dinilai tak mendukung penunjukannya menjadi hakim konstitusi. Penunjukan ini dinilai sarat muatan politik.

"Kami tidak melihat ada indikator yang jelas dari Presiden untuk memilih (Patrialis). Aspek kualitas, integritas, kelihatannya dinafikan," kecam Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, mewakili koalisi, dalam konferensi pers, Selasa (30/7/2013). Penunjukan Patrialis, imbuh dia, lebih terlihat menonjolkan soal relasi dan kepentingan politik.

Sejumlah alasan disebutkan koalisi tersebut untuk mempertanyakan dasar penunjukan Patrialis. Pada Pemilu 2009, misalnya, Patrialis gagal saat mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan Sumatera Barat. Kebijakan yang dibuat Patrialis saat menjabat Menteri Hukum dan HAM juga dianggap kontroversial dan tak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Patrialis disebut koalisi ini pernah memberikan obral remisi dan pembebabasan bersyarat terhadap koruptor dan membangun sel khusus untuk koruptor di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Pada masa jabatannya pula, grasi untuk Syaukani, mantan Bupati Kutai Kartanegara yang terlibat korupsi, diberikan.

Penunjukan Patrialis dinilai sebagai "kompensasi politik" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah mencopot Patrialis dari kursi Menteri Hukum dan HAM. "Saya pakai logika sederhana saja, ketika seorang menteri masuk kabinet dan punya perform yang buruk, artinya dia dapat rapor merah. Nah, udah dapet rapor merah masih diangkat-angkat juga, kebangetan," kecam Emerson.

Menurut Emerson, dia membayangkan sosok hakim konstitusi mestinya berasal dari kalangan akademisi, yang dipilih dengan pertimbangan integritas, kualitas, dan komitmen terhadap penegakan hukum. "Nah mengapa memilih Patrialis Akbar?" tanya dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com