Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ditahan KPK, Emir Moes Tetap Nikmati Fasilitas DPR

Kompas.com - 11/07/2013, 19:10 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Emir Moeis resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (11/7/2013). Namun, Badan Kehormatan DPR tidak bisa langsung mencopot keanggotaan Emir. Emir pun masih mendapatkan fasilitas-fasilitas sebagai anggota DPR.

"Gaji pokok masih dapat dan fasilitas lain sebagai anggota DPR karena statusnya masih anggota DPR dan karena masih tersangka. Yang hilang hanya tunjangan, seperti dana kunjungan kerja, tunjangan sebagai panitia kerja atau alat kelengkapan, dan uang sidang," ujar Wakil Ketua BK Siswono Yudhohusodo saat dihubungi, Kamis.

Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, struktur gaji anggota DPR terdiri dari gaji pokok, tunjangan, serta penerimaan lain-lain. Besaran gaji pokok dan tunjangan tersebut sama untuk semua anggota dewan. Hanya, mereka yang memiliki jabatan sebagai pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) bisa membawa pulang gaji Rp 2-3 juta lebih banyak.

Berikut ini adalah rincian gaji pokok dan tunjangan anggota dewan.

1. Gaji pokok Rp 4.200.000
2. Tunjangan istri Rp 420.000.
3. Tunjangan anak (2 anak) Rp 168.000
4. Uang sidang/paket Rp 2.000.000
5. Tunjangan jabatan Rp 9.700.000
6. Tunjangan beras (4 jiwa) Rp 198.000
7. Tunjangan PPH Pasal 21 Rp 1.729.000

Adapun jumlah gaji pokok dan tunjangan anggota dewan sebenarnya mencapai Rp 18.415.000. Namun, setelah dipotong pajak dan iuran wajib DPR sebesar 10 persen, anggota hanya berhak atas Rp 16.207.000. Seluruh paket gaji ini masih didapat Emir, kecuali tunjangan uang sidang sebesar Rp 2.000.000. Sementara penerimaan lain anggota DPR yang mencapai Rp 40 juta tidak didapat Emir karena politisi ini tidak bisa lagi menjalani fungsinya sebagai anggota dewan.

Tetap anggota DPR

Siswono menuturkan, status keanggotaan Emir di DPR masih akan tetap sampai status tersangka  beralih menjadi terdakwa. "Kalau tersangka, itu kan dia belum tentu bersalah. Kasusnya juga bisa berhenti di tengah jalan dengan adanya SP3," ucap Siswono.

Politisi Partai Golkar itu menyebutkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999  tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD dan Peraturan DPR tentang Tata Tertib dan Kode Etik, seorang anggota dewan baru bisa diberhentikan sementara jika statusnya sudah menjadi terdakwa.

"Kalau pengadilan diputuskan bersalah lakukan tindak pidana korupsi, yang bersangkutan akan diberhentikan sebagai anggota DPR. Kalau tidak bersalah, akan direhabilitasi. BK tidak bisa gegabah karena persoalan ini sudah ada di penegak hukum," imbuhnya.

Diperiksa pertama kali dan ditahan

KPK menahan Emir terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung. Menurut informasi dari pengacaranya, Emir ditahan di Rutan Guntur, Jakarta Selatan.

Pemeriksaan Emir ini merupakan yang pertama. Sejak ditetapkan sebagai tersangka hampir setahun lalu, Emir belum diperiksa, apalagi ditahan. KPK menetapkan Emir sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR 1999-2004 dan 2004-2009. Emir diduga menerima 300.000 dollar AS dari PT Alstom Indonesia yang merupakan perusahaan pemenang tender PLTU Tarahan.

KPK menjerat Emir dengan Pasal 5 Ayat 2, Pasal 12 Huruf a atau b, Pasal 11, dan atau Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kasus ini, KPK telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk petinggi PT Alstom Indonesia. KPK juga telah memeriksa sejumlah saksi di luar negeri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com