Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Chandra M Hamzah: Hentikan Perdebatan Pasal Santet!

Kompas.com - 02/04/2013, 18:10 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M Hamzah, menilai, pasal yang mengatur soal santet dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak perlu diperdebatkan. Selaku praktisi hukum, Chandra menilai, pasal tersebut sudah tepat.

“Perdebatan pasal santet yang tidak menentu harap dihentikan, yang berpendapat soal itu sudah baca pasalnya atau belum?” kata Chandra dalam diskusi media soal RUU KUHP dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digelar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Selasa (4/2/2013). Hadir dalam diskusi tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Indra, serta pengajar hukum pidana Universitas Indonesia Ganjar L Bondan.

Menurut Chandra, pasal santet tidak perlu lagi diperdebatkan karena merupakan delik formal. Pasal ini tidak perlu pembuktian apakah benar si pelaku memiliki kekuatan gaib atau tidak. Cukup dengan adanya pernyataan dari si pelaku bahwa dia memiliki kekuatan gaib. “Pasalnya berbunyi, seseorang yang menawarkan atau menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib, ini delik formal, tidak perlu dibuktikan dia punya kekuatan gaib atau tidak, tetapi orang yang menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib,” ujar Chandra.

Aturan mengenai santet diatur dalam Bab V tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum, tepatnya pada Pasal 293 RUU KUHP. Kutipan pasal itu berbunyi "(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV; (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga."

Chandra melanjutkan, ada sejumlah kejanggalan yang lebih penting untuk diperdebatkan dalam RUU KUHP. Misalnya pasal-pasal mengenai kasus korupsi dalam KUHP yang belum disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Chandra, tidak semua pasal korupsi di KUHP ada di UU Tipikor yang sifatnya lex specialis.

Contohnya, sebut Chandra, pasal dalam KUHP yang mengatur soal pemberian suap terhadap hakim dengan tujuan mengatur skor suatu pertandingan. “Mengenai seseorang mengatur pertandingan, di UU Nomor 23 itu enggak ada. Jadi yang mana yang korupsi? KPK punya kewenangan mengusutnya enggak? Pertanyaannya jadi panjang,” ucap Chandra.

Kejanggalan lain, kata Chandra, dalam RUU KUHP, aturan mengenai seorang hakim yang menerima suap tidak dimasukkan dalam bab korupsi. “Padahal ini juga korupsi nih,” tambah Chandra. Selain itu, menurut dia, masih ada duplikasi aturan yang menjadi permasalahan dalam RUU KUHP.

Kejanggalan-kejanggalan inilah, lanjutnya, hal yang seharusnya diperdebatkan. “Harusnya DPR membahas pasal ini satu per satu. Ini saya baru bahas soal korupsinya saja. Saya enggak tahu soal asuransi, narkotika, banyak yang perlu dibenahi dan butuh pembahasan serius,” kata Chandra.

Berita terkait dapat dibaca dalam topik: Kontroversi Pasal Santet

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

    Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

    Nasional
    Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

    Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

    [POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

    Nasional
    Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

    Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

    Nasional
    Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

    Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

    Nasional
    Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri 'Drone AI' Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

    Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri "Drone AI" Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

    Nasional
    Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

    Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

    Nasional
    Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

    Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

    Nasional
    Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

    Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

    Nasional
    Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

    Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

    Nasional
    15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, 'Prof Drone UI' Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

    15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, "Prof Drone UI" Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

    Nasional
    Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

    Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

    Nasional
    Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

    Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

    Nasional
    Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

    Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com