JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah eks penyelenggara pemilu dan pakar hukum tata negara melayangkan surat terbuka kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk memecat penyelenggara pemilu lain yang terlibat kekerasan seksual.
Saat ini, DKPP masih menangani beberapa kasus dugaan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan penyelenggara pemilu dari tingkat pusat maupun daerah.
Salah satunya, DKPP sedang menyusun putusan terhadap kasus dugaan asusila yang dilakukan Hasyim kepada seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda.
"DKPP harus berpihak kepada korban dan menjatuhkan sanksi maksimal kepada pelaku kekerasan terhadap perempuan," kata pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, dalam surat terbuka yang mereka teken.
Baca juga: DKPP Gelar Sidang Lanjutan Dugaan Asusila Ketua KPU
Dalam konstruksi kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu di Indonesia, saksi maksimal yang dapat dijatuhkan DKPP adalah pemberhentian dengan tidak hormat.
"Surat terbuka ini kami buat semata karena meyakini bahwa sebagai lembaga penegak etika dan kehormatan penyelenggara pemilu, DKPP sepenuhnya akan berbuat dan bertindak adil dalam memeriksa dan memutus berbagai perkara dugaan kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh DKPP," tambahnya.
Para mantan penyelenggara pemilu yang terlibat di antaranya Ramlan Surbakti, Wakil Ketua/Anggota KPU RI 2001-2007; Hadar Nafis Gumay, Anggota KPU RI 2012-2017; Evi Novida Ginting Manik, Anggota KPU RI 2017-2022; Wahidah Suaib, Anggota Bawaslu RI 2008-2012; dan Wirdyaningsih, Anggota Bawaslu RI 2008-2012
Beberapa di antara mereka juga merupakan pakar dan dosen hukum serta politik di sejumlah universitas terkemuka.
Baca juga: Sidang Lanjutan Dugaan Asusila, Ketua KPU dan Korban Kembali Satu Forum
Sementara itu, beberapa pakar lain yang terlibat dalam surat ini di antaranya Khoirunnisa Nur Agustyati, Titi Anggraini, Bivitri Susanti, dan Valentina Sagala.
Surat terbuka ini juga didukung sejumlah perwakilan organisasi nonsipil seperti Perludem, Netgrit, Maju Perempuan Indonesia (MPI), Institut Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalyanamitra, Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).
Berikut isi surat tersebut:
Kami mendukung DKPP untuk terus konsisten dan teguh dalam menjaga integritas, kehormatan, kemandirian, dan kredibilitas penyelenggara pemilu melalui penegakan kode etik dan pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu secara profesional, kredibel, dan berintegritas.
Dalam praktik demokrasi, nilai-nilai kebebasan, keadilan, kesetaraan, kejujuran, integritas, akuntabilitas, pemenuhan hak asasi manusia, dan perilaku antikorupsi harus dijunjung tinggi. Bukan hanya sebagai sebuah komitmen nilai, tapi juga panduan sikap dan perilaku yang harus dipraktikkan secara konsisten dan bertanggung jawab.
Penyelenggara pemilu adalah beranda dan garda terdepan dalam penyelenggaraan pemilu dan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, perilaku, sikap, dan tindak tanduk penyelenggara pemilu bukan hanya menjadi perhatian para pemangku kepentingan, baik pemilih ataupun peserta pemilu, namun juga menjadi teladan bagi seluruh pemangku kepentingan pemilu dan demokrasi di Indonesia.
Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang tidak dapat dimaafkan apalagi dibenarkan karena menciderai nilai-nilai demokrasi, melanggar hak asasi manusia, serta amat tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam kode etik dan pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu.