KOMPAS.com - Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang dalam pengembangan biodiesel, khususnya biodiesel kelapa sawit. Melalui sejarah yang panjang tersebut, Indonesia berhasil menjadi produsen biofuel terbesar di dunia.
Pada awal pengembangan, tepatnya pada 2009, produksi biodiesel baru (B2,5) mencapai 190.000 kiloliter (kL) (B2,5) dan meningkat secara bertahap seiring dengan peningkatan blending rate (B10) pada 2014, yakni dengan volume produksi sebesar 3,96 juta kL.
Volume produksi biodiesel mengalami penurunan hampir 50 persen menjadi 1,65 juta kL pada 2015. Hal ini disebabkan harga biodiesel saat itu lebih tinggi dibandingkan minyak diesel atau solar.
Selain itu, subsidi bahan bakar nabati (BBN) yang dijadwalkan diberikan hingga 2015, harus dicabut sebagai implikasi dari besarnya defisit perdagangan Indonesia. Kondisi ini menjadi dilema bagi kelanjutan industri biodiesel Indonesia.
Baca juga: BPDPKS Terima Award Kemitraan UKMK dan Petani Sawit Milenial dari Aspekpir
Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit menjadi titik terang untuk melanjutkan program mandatori biodiesel di Indonesia.
“Regulasi tersebut memberikan peluang untuk memanfaatkan dana sawit hasil pungutan ekspor produk sawit untuk insentif pengembangan biodiesel,” ujar Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung dalam artikel berjudul Biodiesel Indonesia: Produksi, Konsumsi dan Ekspor (2024).
Menurut Tungkot, insentif biodiesel tersebut berhasil meningkatkan bleeding rate dan produksi biodiesel Indonesia yang sebelumnya di tahun 2016 mencapai 3,66 juta kL (B20 pada sektor public service obligation/PSO)) menjadi 6,17 juta kL (B20 sektor PSO dan non-PSO) pada 2018.
“Volume produksi biodiesel juga terus meningkat pada implementasi mandatori B30, yakni 8,59 juta kL pada 2020 menjadi 8,98 juta kL pada 2021 dan 11,81 juta kL pada 2022,” ucap Tungkot dalam keterangan persnya, Jumat (31/5/2024).
Baca juga: Ini Alasan BPDPKS Belum Bayarkan Utang Minyak Goreng ke Pengusaha
Tungkot mengatakan, dengan diimplementasikan kebijakan mandatori B35 pada awal Februari, pemerintah menargetkan alokasi volume biodiesel tahun 2023 sebesar 13,15 juta kL.
Lebih lanjut, kata dia, biodiesel yang dihasilkan perusahaan produsen dari Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) sebagian besar dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ia menyebut, biodiesel tersebut didistribusikan kepada Pertamina selaku Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM), sehingga konsumsi biodiesel dalam negeri mengalami peningkatan menjadi 10,42 juta kL pada 2022 yang sebelumnya hanya mencapai 119.000 kL pada 2009.
Tungkot mengungkapkan bahwa proporsi konsumsi biodiesel di dalam negeri terhadap produksi juga mengalami peningkatan. Misalnya pada 2009, sekitar 63 persen produksi biodiesel digunakan untuk konsumsi domestik.
Baca juga: BPDPKS Gelar Audiensi dengan Gapki, Bahas Riset dan Pengembangan Industri Kelapa Sawit
“Proporsi tersebut terus meningkat hingga pernah mencapai 98 persen untuk konsumsi domestik pada 2020. Namun, konsumsi biodiesel domestik juga pernah mencapai sekitar 20 persen dari produksinya pada 2011,” ucap Tungkot.
Hal yang menarik dari penggunaan biodiesel di dalam negeri terjadi saat keberlangsungan program mandatory biodiesel B30 di tengah masa pandemi Covid-19 yang sempat diragukan oleh beberapa pihak.
Tungkot mengungkapkan, kebijakan lockdown dan restriksi aktivitas sosial-ekonomi yang berlaku di Indonesia menyebabkan konsumsi biodiesel mengalami penurunan.