INDONESIA tampaknya masih terjebak dalam jerat klasik politik uang yang menggerogoti setiap lapisan proses elektoral.
Berdasarkan survei exit poll yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 14 Februari 2024 ditemukan bahwa 46,9 persen responden pemilih menyatakan bahwa politik uang sesuatu yang wajar dan dapat diterima.
Percaya atau tidak, survei ini adalah realitas proses elektoral yang teramati dan jamak terjadi di pemilu Indonesia kemarin. Politik uang dianggap kewajaran.
Tahun 2024 belum usai, proses elektoral selanjutnya yang akan dihadapi adalah Pilkada serentak. Proses Pilkada serentak pertama kali ini harusnya menjadi harapan untuk pembaruan budaya politik Indonesia.
Politik yang mengedepankan kualitas dan substansi serta jauh dari ingar bingar transaksional.
Namun harapan itu nampaknya masih terlalu jauh untuk diraih. Pilkada tetap berpotensi menjadi saksi dari episode tragis di mana modal finansial lebih berkuasa daripada suara rakyat.
Alih-alih merayakan pesta demokrasi yang jujur dan adil, masyarakat mungkin justru kembali melihat parade koruptif yang berbalut janji manis dan tawa sinis.
Baliho-baliho narsistik yang muncul untuk mengenalkan calon kepala daerah terlihat menawan, tetapi miskin gagasan. Masyarakat disuruh mengenal orangnya tanpa harus tahu isi kepalanya.
Namun memang hukum pasar politik sepertinya mengarah ke situ. Masyarakat dihukum dengan pilihan tanpa harus tahu alasannya.
Maka pilihan yang muncul hanya didasarkan pada ikatan-ikatan emosional, tradisional, konservatif, dan kolot. Gagasan-gagasan politik bisa diganti dengan gugusan amplop.
Politik hanya dimaknai sebatas alat tukar uang dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, politik uang bukan sekadar praktik memalukan; ia adalah cerminan dari penyakit sistemik yang menggerogoti jantung demokrasi kita.
Politik transaksional merupakan cerminan ketidakmampuan para elite politik untuk meraih dukungan rakyat dengan gagasan dan visi yang jelas sehingga memilih jalan pintas dengan membujuk pemilih melalui cara-cara yang tidak etis.
Ini bukan hanya masalah moralitas individu, tetapi krisis struktural yang merongrong kualitas demokrasi dan budaya politik Indonesia. Demokrasi tersandera oleh prilaku politik yang banal.
Apakah demokrasi hanya sebatas permainan uang? Lalu apa yang bisa diharapkan dari proses demokrasi yang seperti itu?
Demokrasi adalah tentang kedaulatan hakiki rakyat. Kedaulatan rakyat itu yang sedang disulap habis-habisan dengan pesona politik transaksional untuk meraih kekuasaan. Kekuasaan pada ujungnya akan melahirkan dominasi.