JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyebut, putusan sela Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menerima eksepsi Hakim Agung Gazalba Saleh, adalah putusan yang mengada-ngada dan ngawur.
Namun, Zaenur mengaku, menghormati putusan sela pengadilan terkait perkara gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan terdakwa Gazalba Saleh.
Zaenur menegaskan bahwa kewenangan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penuntutan perkara di pengadilan, bukan berasal dari Jaksa Agung. Sebagaimana pertimbangan putusan sela hakim dalam perkara Gazalba Saleh.
“Kewenangan KPK melakukan penuntutan itu bukan datang dari Jaksa Agung. Dia datang dari Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Dalam Pasal 6 huruf e dinyatakan bahwa KPK itu bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,” kata Zaenur kepada Kompas.com, Selasa (28/5/2024).
Baca juga: MA Tunggu Aduan KPK, Usai Meminta Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh Diperiksa
Oleh karena itu, dia mengatakan, tidak ada satupun dasar hukum yang mengharuskan jaksa KPK mendapatkan pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung ketika akan melakukan penuntutan perkara dalam persidangan.
“Jadi alasan hakim menerima eksepsi Gazalba Saleh itu tidak berdasarkan hukum, mengada-ada dan ini baru pertama kali kami dengar. Karena dari zaman dulu ketika KPK berdiri dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 sampai sekarang dengan perubahan UU KPK, KPK itu kewenangan dari UU KPK, bukan penegak hukum lain,” ujar Zaenur menegaskan.
Namun, Zaenur mengatakan bahwa jaksa itu memang satu kesatuan di bawah Jaksa Agung, sebagaimana disebut dalam UU Nomor 11 Tahun 2001 Tentang Kejaksaan RI.
Hanya saja, dia menegaskan bahwa UU Kejaksaan tersebut tidak berlaku bagi KPK. Di tambah lagi, Zaenur mengingatkan bahwa kewenangan penuntutan oleh KPK diberikan oleh undang-undang atau bersifat atributif.
“Dari zaman dulu KPK sudah menuntut ratusan perkara, itu tidak kewajiban Jaksa KPK untuk meminta pelimpahan kewenangan karena memang kewenangannya itu diberikan undang-undang. Jadi, kewenangan KPK dalam penuntutan itu kewenangan yang bersifat atributif,” katanya.
"Putusan sela pengadilan ini tidak berdasarkan undang-undang dan ini merupakan satu bentuk keputusan yang ngawur,” ujar Zaenur lagi.
Kemudian, dia mengatakan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak disebutkan bahwa jaksa KPK harus mendapatkan delegasi dari Jaksa Agung sebelum melakukan penuntutan perkara di Pengadilan.
“Memang benar KPK tunduk pada KUHAP. Tapi kan dalam KUHAP tidak ada dikatakan juga ketika harus menuntut itu harus atas delegasi dari Jaksa Agung. Jadi, satu-satunya argumentasi bahwa jaksa kalau mau menuntut adalah delegasi Jaksa Agung itu dalam UU Kejaksaan. Tapi itu tidak berlaku untuk KPK,” katanya.
Lebih lanjut, Zaenur juga menyebut bahwa KPK bisa mengambil alih penyidikan atau penuntutan dari Kejaksaan dan Kepolisian. Sehingga, tidak logis jika saat menuntut jaksa KPK harus mendapat pendelegasian dari Jaksa Agung.
“KPK itu bahkan dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain, baik Kejaksaan atau Kepolisian. Menjadi tidak logis kalau KPK di dalam meunutut harus izin Jaksa Agung tapi dia sendiri berwenang untuk ambil alih kasus dari Kejaksaan,” ujar.
Zaenur menjelaskan, aturan pengambilalihan perkara dari Kepolisian dan Kejaksaan itu ada dalam Pasal 10A UU KPK.