JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilik perusahaan biro haji dan umroh Maktour Travel, Fuad Hasan Masyhur, memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi saksi kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Senin (27/5/2024).
Sebelum diperiksa penyidik, Fuad menyampaikan bahwa ia harus melayani siapa pun orang yang datang ke perusahaannya untuk berangkat umrah, termasuk SYL.
“Saya ini kan pelayan tamu Allah. Jadi siapa pun yang datang, saya tentu wajib memberikan pelayanan,” ujar Fuad kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin.
Baca juga: KPK Panggil Lagi Fuad Hasan Masyhur Jadi Saksi TPPU SYL
Fuad mengaku tidak memenuhi panggilan pemeriksaan pada pekan lalu karena terdapat kekeliruan dari penyidik.
Sebab, dalam surat panggilan itu, ia diminta menjalani pemeriksaan di Sulawesi. Padahal, Fuad sudah tinggal di Jakarta sejak tahun 1980.
Mertua Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Ario Bimo Nandito Ariotedjo itu sempat mengira dirinya mendapatkan surat palsu karena surat yang tidak jelas itu.
“Saya pikir saya di-prank. Kok tiba-tiba ada panggilan selisih beberapa jam. Jadi untuk kooperatif, mungkin saya akan lebih kooperatif,” ujar Fuad.
Sebelum memanggil Fuad, penyidik juga telah memanggil bawahannya di Maktour Travel, tetapi semuanya mangkir.
Baca juga: Kasus TPPU SYL, KPK Panggil 3 Pemilik Biro Perjalanan
Dalam perkara TPPU ini, KPK tengah mengusut dugaan aliran dana dari hasil korupsi SYL.
Selain pihak Maktour Travel, penyidik juga telah memeriksa pemilik dan pegawai perusahaan Suita Travel untuk menggali dugaan manipulasi perjalanan pribadi menjadi perjalanan dinas.
"Kaitan dugaan aliran uang dari tersangka SYL yang digunakan untuk perjalanan keluar negeri seolah-olah dalam rangka dinas," ujar Juru Bicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri.
Dalam perkara TPPU ini, KPK telah menggeledah sejumlah lokasi di Makassar selama beberapa hari berturut-turut. Mereka juga menyita sebuah rumah mewah bernilai Rp 4,5 miliar.
Sementara itu, dalam perkara pokoknya, SYL didakwa menerima uang sebesar Rp 44,5 miliar hasil memeras anak buah dan Direktorat di Kementan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Pemerasan ini disebut dilakukan SYL dengan memerintahkan eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta; dan eks Sekjen Kementan, Kasdi Subagyono; Staf Khusus Bidang Kebijakan, Imam Mujahidin Fahmid, dan ajudannya, Panji Harjanto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.