JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua MK Periode 2013-2015 Hamdan Zoelva menilai, Revisi Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membuat hakim konstitusi bergantung kepada lembaga pengusulnya.
Dalam draf RUU MK, ada usulan supaya hakim konstitusi meminta restu kembali kepada lembaga yang mengusulkannya, setelah menjabat selama 5 tahun.
Adapun lembaga pengusul yang dimaksud yakni DPR, Presiden dan Mahkamah Agung.
“Nah ini menunjukkan bahwa posisi hakim konstitusi menjadi sangat tergantung pada lembaga pengusul terutama untuk masa jabatan periode, melanjutkan periode lima tahun selanjutnya,” kata Hamdan dalam diskusi publik bertajuk “Sembunyi-Sembunyi Revisi UU MK Lagi” yang digelar secara virtual, Kamis (16/5/2024).
Baca juga: Soal Revisi UU MK, Disebut Jurus Mabuk Politisi Menabrak Konstitusi
Hamdan memandang RUU MK tersebut juga bisa mengganggu independensi MK.
Selain itu, menurutnya, hal ini bisa menjadi ancaman sangat serius terhadap negara hukum karena salah satu fondasi pokok dari negara hukum itu adalah independensi dari lembaga peradilan.
“Itu adalah bentuk yang secara langsung dan akan sangat mengganggu independensi dari hakim konstitusi, ada pengaturan masa jabatan 10 tahun,” ucap Hamdan.
“Kemudian 10 tahun itu dibagi-bagi, lima tahun pertama kemudian lima tahun kedua untuk mendapatkan masa jabatan harus dengan persetujuan dari DPR, diatur dari lembaga pengusul. Dari DPR misalnya, usul DPR, kemudian dari presiden, kemudian dari MA,” imbuhnya.
Baca juga: Revisi UU MK Bukan soal Penegakkan Konstitusi, Ini soal Kepentingan Politik Jangka Pendek
Selanjutnya, eks hakim konstitusi ini turut menyoroti soal pasal terkait pengawasan atau komposisi Majelis Kehormatan MK (MKMK).
Dalam Pasal 27A Ayat 2 RUU MK disebutkan bahwa MKMK terdiri dari lima orang, yakni diusulkan masing-masing satu oleh MK, Mahkamah Agung, DPR, Presiden, dan satu hakim konstitusi.
Menurut dia, pengaturan serupa juga pernah ada namun berhasil dibatalkan karena dinilai bermasalah.
“Dulu ada pengawasan oleh DPR, satu usulan DPR, satu pengawas ditunjuk DPR, satu ditunjuk pemerintah, satu ditunjuk MA, dua oleh KY. Ini kan diubah undang-undangnya karena itu bermasalah dan mengganggu independensi mahkamah konstitusi,” ucap dia.
Baca juga: DPR Berpotensi Langgar Prosedur soal Revisi UU MK
Bahkan, menurut dia, sampai ada berbagai putusan MK yang menyatakan MK tidak boleh diawasi oleh lembaga lain.
Oleh karena itu, ia heran dengan poin RUU terkait pengawasan tersebut.
“Tidak ada bedanya ketentuan dulu yang dibatalkan bahwa itu bertentangan dengan konstitusi. Nah ini maju lagi masalah pengawasan di mana masing-masing lembaga yang mengajukan itu ikut selanjutnya mengawasi,” ucap Hamdan.