JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menduga, banyak kepentingan yang hendak dicapai melalui upaya merevisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab, menurut Feri, ada yang janggal dalam aturan mengenai masa jabatan hakim yang diatur dalam draf revisi UU MK tersebut. Sehingga, dia mencurigai bahwa revisi tersebut hanyalah alat sandera untuk kepentingan politik.
“Ini kan lucu-lucuan sebenarnya DPR ini. Kalau kita baca baik-baik (draf revisi), kalau (hakim konstitusi) lebih dari lima tahun harus konfirmasi lembaga pengusul, 10 tahun lanjutkan sampai 70 tahun. Itu logikanya dari mana,” kata Feri dalam program Obrolan Newsroom bersama Kompas.com, Selasa (14/5/2024).
“Kan harusnya kalau orang yang sudah lama panjang tugasnya 10 tahun, dia yang harus dicek ya, siapa tahu karena faktor sumber daya manusia orang Indonesia yang kalau sudah mendekati 70 tahun sudah mulai pikun dan sebagainya. Ini malah yang lima tahun lebih yang mau dikoreksi ulang, itu kan enggak nyambung logikanya,” ujarnya lagi.
Baca juga: Revisi UU MK Dinilai Cenderung Jadi Alat Sandera Kepentingan, Misalnya Menambah Kementerian
Dalam Pasal 87 huruf a draf revisi UU MK memang berbunyi, "hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun, melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan jika mendapat persetujuan dari lembaga pengusul".
Huruf b berbunyi, "hakim konstitusi yang sedang menjabat dan masa jabatannya telah lebih dari 10 tahun, masa jabatannya berakhir mengikuti usia pensiun 70 tahun berdasarkan undang-undang ini, selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan".
Apalagi, Feri menyebut, publik tidak pernah mendapatkan akses pada naskah akademik yang berisi kajian atau pertimbangan sehingga UU MK harus direvisi.
Atas dasar itu, dia mengatakan, ada kecenderungan revisi UU MK dilakukan hanya untuk kepentingan politik jangka pendek.
“Upaya revisi ini kepentingannya bukan soal legislasi yang baik dan benar, bukan soal penegakkan konstitusi yang baik dan benar, ini soal kepentingan politik jangka pendek yang harus diselesaikan,” kata Feri.
Terkait kepentingan politik, Feri menyinggung perihal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020. Lalu, sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) terkait pemilihan legislatif (Pileg) 2024 yang sedang berlangsung di MK.
“Siapa tahu ini alat sandera karena sidang PHPU Pileg dan menjelang Pilkada. Jadi banyak sekali alat kepentingan yang sedang mau digunakan melalui (revisi) UU MK ini,” ujarnya.
Baca juga: Sentil DPR soal Revisi UU MK, Pakar: Dipaksakan, Kental Kepentingan Politik
Selain itu, Feri juga menyinggung kepentingan terkait Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Sebab, sudah menjadi isu umum bahwa ada wacana penambahan jumlah kementerian di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Kalau dilihat konteks politik kekinian, menurut saya, pembahasan revisi UU MK kali ini punya kecenderungan untuk menjadi alat sandera kepentingan pemerintah ke depan khususnya pembahasan soal UU kementerian negara,” katanya.
Menurut Feri, pemerintah akan sulit menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengakomodasi kepentingan menambah jumlah kementerian.
Sebab, dalam pandangannya, menerbitkan Perppu hanya untuk mengubah jumlah kementerian di UU Kementerian Negara tidak sesuai dengan tiga syarat terbitnya perppu, yakni ada kekosongan hukum; ada hukumnya tetapi tidak menyelesaikan masalah; dan membuat UU memerlukan waktu yang lama sedangkan keadaan mendesak.