JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI meminta bantuan Presiden Joko Widodo agar mereka dapat menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur, Malaysia.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengatakan, pemerintah negeri jiran memiliki kebijakan khusus terkait kegiatan politik negara lain yang digelar di Malaysia.
Menurut dia, pemerintah Malaysia mengatur bahwa permohonan izin untuk kegiatan seperti itu harus dilayangkan sejak 3 bulan lalu, jika kegiatan dilaksanakan di premis negara yang bersangkutan, dalam hal ini seperti kawasan Wisma Indonesia, KBRI, dan KJRI.
Baca juga: Rekapitulasi Suara Luar Negeri Selesai, Tinggal Kuala Lumpur yang Pemilu Ulang
Sementara itu, jika kegiatan politik dihelat di luar premis, maka izinnya harus sudah dikirim 6 bulan sebelumnya ke otoritas Malaysia.
"Oleh karena itu, karena waktunya mepet, kami sudah melaporkan ke presiden," ujar Hasyim kepada wartawan, Senin (4/3/2024).
Ia menegaskan, kebijakan semacam itu tidak pernah dialami KPU selama menggelar pemungutan suara selama ini.
"Kami mohon bantuan fasilitasi supaya ada pembicaraan, katakanlah pada tingkat tinggi antara Presiden (RI) dengan Perdana Menteri Malaysia untuk meminta bantuan fasilitasi sehingga bisa digelar pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur," ungkap Hasyim.
Baca juga: KPU Siap Laporkan 7 Tersangka PPLN Kuala Lumpur untuk Diberhentikan DKPP
Berdasarkan rencana KPU RI, PSU di Kuala Lumpur akan menggunakan 2 metode saja, yakni metode TPS dan kotak suara keliling (KSK).
Pemilu melalui KSK direncanakan digelar pada 9 Maret 2023, sedangkan TPS 10 Maret 2023.
KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebelumnya sepakat tak menghitung suara pemilih pos dan KSK di wilayah kerja PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) Kuala Lumpur karena masalah integritas daftar pemilih dan akan mengulang proses pemilu.
Dalam proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh PPLN Kuala Lumpur pada 2023 lalu, Bawaslu menemukan hanya sekitar 12 persen pemilih yang dicoklit dari total sekitar 490.000 orang dalam Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kementerian Luar Negeri yang perlu dicoklit.
Baca juga: Bareskrim Tetapkan 7 Tersangka Kasus Tindak Pidana Pemilu di Kuala Lumpur
Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif hingga 18 orang.
Akibatnya, pada hari pemungutan suara, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) membludak hingga sekitar 50 persen di Kuala Lumpur.
Pemilih DPK adalah mereka yang tidak masuk daftar pemilih. Ini menunjukkan, proses pemutakhiran daftar pemilih di Kuala Lumpur bermasalah.
Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seyogianya dikirim untuk pemilih via pos.