JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai, rencana penyematan pangkat jenderal kehormatan ke Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bakal menjadi keputusan yang problematis.
“Presiden (Joko Widodo) mungkin tak akan terhalang secara politik untuk melakukan keputusan tersebut, tapi dari segi moral dan etika, tentu menjadi keputusan yang problematis,” kata Usman saat dihubungi, Selasa (27/2/2024).
Usman mengatakan, pemberian pangkat jenderal kehormatan itu tidak akan diterima sebagai alasan pencucian dosa bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
“Secara hukum, khususnya hukum internasional hak asasi manusia maupun hukum pidana internasional, keputusan itu tidak akan diterima,” ujar Usman.
“Jangan sampai pemberian pangkat kehormatan akan dipandang "mencuci" kontroversi masa lalu karier militer Prabowo terkait pelanggaran HAM masa lalu. Impunitas tetap tidak boleh dibiarkan atau dinormalkan,” kata dia.
Baca juga: Jokowi Akan Sematkan Pangkat Jenderal Kehormatan Bintang Empat ke Prabowo Besok
Diketahui, Prabowo diduga terlibat kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998.
Hingga kini, masih terdapat 13 aktivis yang masih hilang.
Koalisi Masyarakat Sipil terus mendorong agar kasus tersebut diselesaikan.
“Adanya pernyataan Prabowo yang mengakui bahwa mereka yang diculik sudah dia kembalikan, sesungguhnya tidak menghapus begitu saja kejahatannya,” tulis keterangan koalisi, 13 November 2023, dikutip dari laman KontraS.
Koalisi menilai, pengakuan Prabowo tersebut justru semakin memperkuat bahwa memang Prabowo menjadi pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban.
Hal ini juga diperkuat dengan keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang memberhentikan Prabowo dari dinas kemiliteran karena terbukti terlibat dalam penculikan dan penghilangan orang paksa aktivis 1997/1998.
Saat itu, Prabowo diberhentikan dari jabatannya sebagai Panglima Kostrad.
Baca juga: Kemenhan Ungkap Alasan Jokowi Beri Pangkat Jenderal Kehormatan ke Prabowo
Adapun penculikan aktivis 1997/1998 dilakukan oleh tim khusus bernama Tim Mawar, yang dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono.
Tim Mawar merupakan tim kecil dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup IV, TNI Angkatan Darat.
Saat penculikan, Prabowo berstatus sebagai Danjen Kopassus.