JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Imparsial, PBHI, KontraS, YLBHI, Amnesty, WALHI, Perludem, Migrant Care, ICW, SETARA Institute, dan lain-lain mengungkapkan sejumlah kasus kecurangan pemilu yang mereka temukan.
Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan, kecurangan Pemilu 2024 mencakup penyalahgunaan kekuasaan negara di berbagai level, mulai dari pejabatnya, anggaran, kewenangan, hingga pengaruh.
Menurutnya, penyalahgunaan kekuasaan negara itu dilakukan demi kepentingan kampanye dan pemenangan kandidat tertentu.
"Dari kasus-kasus yang dikumpulkan oleh kawan-kawan, tercatat ada 121 kasus dengan 31 kategori tindakan penyimpangan aparatur negara di berbagai level dan tingkatan pemerintahan di seluruh wilayah Indonesia," ujar Ghufron dalam jumpa pers di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (11/2/2024).
Baca juga: Hindari Potensi Kecurangan, KPU Diminta Pastikan Keamanan pada Sirekap yang Berteknologi Khusus
Akan tetapi, kata dia, bisa saja 121 kasus yang dicatat oleh Koalisi Masyarakat Sipil hanyalah puncak gunung es saja.
Dia menduga sebenarnya kasus kecurangan yang terjadi selama Pemilu 2024 lebih banyak dari yang mereka temukan.
"Jadi ada kita kumpulkan, dokumentasikan 121 kasus penyimpangan aparatur negara di berbagai level, mulai dari presiden sampai kepala desa terkait dengan untuk kepentingan kampanye dan pemenangan kontestan dalam pemilu," jelas Ghufron.
Dia lantas mencontohkan salah satu kasus kecurangan, yakni Kementerian Agama (Kemenag) yang mengundang seorang capres ke acara sarasehan.
Yang mana, di dalam acara tersebut, capres itu mengeluarkan pernyataan yang dinilai oleh Koalisi Masyarakat Sipil meminta dukungan.
Baca juga: Masyarakat Diminta Kawal Perhitungan Suara untuk Antisipasi Kecurangan Pemilu 2024
"Dalam kegiatan itu juga, capres yang diundang oleh Kemenag mengeluarkan satu statement yang dalam penilaian kawan-kawan, yang ambigu, yang intinya meminta dukungan. Jadi dalam satu kasus bisa jadi lebih dari 1 tindakan," katanya.
Lalu, Ghufron membeberkan ada 7 bentuk tindakan penyimpangan yang dilakukan aparatur negara dan pejabat di berbagai level.
Yang paling besar adalah dukungan ASN terhadap capres-cawapres tertentu, dengan jumlah 38 kasus.
Lalu, disusul oleh 16 kasus terkait kampanye terselubung.
"Berikutnya disusul 14 dukungan terhadap kandidat tertentu. Kemudian berikutnya ada 10 kasus politisasi bansos yang dilakukan oleh presiden. Yang tentunya secara politik menguntungkan satu kandidat tertentu yang berkontestasi dakam pilpres hari ini," jelas Ghufron.
"Terus ada 8 penggunaan fasilitas negara. Dan terakhir yang ketujuh ada 5 tindakan intimidasi terselubung. Ini biasanya melibatkan aparatur yang punya kewenangan pelanggaran hukum. Misalnya apa? Pemanggilan kades," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.