JAKARTA, KOMPAS.com - Efek jera dari sanksi etik yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap para penyelenggara pemilu dipertanyakan.
Pengajar hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyinggung hal tersebut setelah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy'ari, kembali diberi sanksi peringatan keras terakhir per Senin (5/2/2024).
"Putusan DKPP ini seperti kehilangan taji dan tidak serius menegakkan etika penyelenggara pemilu," ujar Titi kepada Kompas.com, Selasa (6/2/2024).
Baca juga: Ditanya soal Vonis MKMK dan DKPP, Mahfud Jawab Pakai Gaya Gibran: Pertanyaanmya Dimana Ya?
"DKPP berkali-kali menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir tanpa ada efek jera yang bisa menjadi koreksi efektif atas kesalahan yang dilakukan," ia menambahkan.
Setahun terakhir, setidaknya, Hasyim sudah 3 kali dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir.
Pertama, pada April 2023, berkaitan dengan kedekatannya secara pribadi dengan tersangka kasus korupsi sekaligus Ketua Umum Partai Republik Satu, Hasnaeni Moein.
Kedua, pada Oktober 2023, karena aturan soal keterwakilan caleg perempuan yang bertentangan dengan UU Pemilu.
Baca juga: Aria Bima: Kalau KPU Main-main dengan Suara Rakyat, Azabnya Lebih Bahaya dari Putusan DKPP
Terbaru, Hasyim diberi sanksi serupa karena dianggap tidak memberikan kepastian hukum lantaran menunda revisi syarat usia capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 ketika pendaftaran capres-cawapres sudah berlangsung.
"Di tengah lingkungan dengan kesadaran etik rendah, sanksi tersebut akan mudah dianggap sebagai hal yang sepele sebab tidak punya dampak pada jabatan orang-orang yang melanggar etika," kata Titi.
Ia memberi contoh, eks Ketua KPU RI Arief Budiman dijatuhi sanksi pemberhentian sebagai Ketua KPU setelah ia melakukan pelanggaran etik setelah disanksi peringatan keras terakhir.
Baca juga: Muncul Desakan Gibran Mundur Usai DKPP Putuskan KPU Langgar Etik, Mungkinkah?
"Padahal pelanggarannya pun sepele yaitu mengantar kolega Komisionernya, Evi Novida Ginting menggugat pemberhentiannya ke PTUN Jakarta. Mestinya DKPP jatuhkan sanksi lebih tegas agar ada efek jera yang efektif," tegas Titi.
Sementara itu, eks Ketua DKPP, Muhammad, menilai bahwa situasi ini bisa membuat kepercayaan publik terhadap legitimasi penyelenggaraan pemilu tergerus, karena publik akan ragu pada profesionalitas dan kredibilitas tahapan pemilu yang dilaksanakan KPU.
"Semakin banyak penyelenggara pemilu diberi sanksi etik itu saya kira akan memengaruhi kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara. Kalau publik semakin berkurang kepercayaannya, itu bisa berdampak kepada kepercayaan orang terhadap hasil pemilu," kata Muhammad kepada Kompas.com, Selasa.
Baca juga: DKPP Putuskan KPU Langgar Etik Terkait Gibran, Puan: Tindak Lanjuti Sesuai Aturan
"Jadi kalau tidak dipercaya, tidak legitimate penyelenggaranya ya, itu ada potensi, misalnya hasil pemilu juga dianggap bisa dilegitimasi juga, bisa kurang dipercaya publik juga," lanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.