Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Temuan PPATK, KPK Hanya Bisa Usut Dugaan Caleg Korupsi jika Penyelenggara Negara

Kompas.com - 12/01/2024, 12:47 WIB
Syakirun Ni'am,
Ihsanuddin

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan hanya bisa mengusut calon legislatif yang berstatus penyelenggara negara. 

Hal itu disampaikan KPK menanggapi temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyangkut transaksi hasil korupsi Rp 3.518.370.150.789 atau Rp 3,51 triliun.

Angka tersebut merupakan nilai transaksi 14 kasus sepanjang 2023 menyangkut para calon legislatif (Caleg) yang masuk Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, caleg bisa saja merupakan orang swasta dan bukan incumbent atau tengah menjabat sebagai anggota legislatif.

“Iya kan begitu undang-undangnya KPK seperti itu, kewenangan KPK sebatas terkait penyelenggara negara, APH (aparat penegak hukum),” ujar Alex kepada wartawan, Jumat (12/1/2024).

Baca juga: PPATK Terima Laporan Transaksi Mencurigakan Sejumlah Caleg, Totalnya Rp 51,47 T

Alex mengaku belum mengetahui apakah KPK telah menerima Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK tersebut.

Mantan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu menyatakan ingin membaca laporan PPATK jika telah diterima di lembaga antirasuah.

Jika pun KPK telah menerima LHA PPATK, kata Alex, pihaknya tidak bisa langsung menggelar penyelidikan.

Laporan PPATK merupakan informasi intelijen mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang tidak bisa menjadi barang bukti.

KPK harus memastikan transaksi dalam laporan dugaan TPPU itu bersumber dari tindak pidana korupsi menyangkut penyelenggara negara, APH, atau kerugian negara minimal senilai Rp 1 miliar.

“Tetapi secara relatif dengan informasi dari PPATK, pasti juga telaah lebih terarah, lebih terukur dan lebih terfokus. Jadi memudahkan kami di KPK,” tutur Alex.

Baca juga: Bawaslu Dalami Temuan PPATK soal Aliran Rp 195 Miliar dari Luar Negeri ke Bendahara 21 Parpol

Sebelumnya, PPATK menyatakan mengungkap laporan transaksi keuangan mencurigakan terkait calon legislatif (caleg) yang masuk dalam DCT Pemilu 2024.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana mengatakan, transaksi-transaksi mencurigakan itu menyangkut perjudian, narkoba, korupsi, hingga tambang ilegal (illegal mining).

Nilai total transaksi mencurigakan itu mencapai Rp 51,47 triliun dari 100 DCT terbesar.

Berdasarkan nilai transaksinya, dana diduga hasil korupsi menjadi yang terbesar dengan total 14 kasus senilai Rp 3,51 triliun atau Rp 3.518.370.150.789.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Nasional
Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Nasional
Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Nasional
Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Nasional
TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

Nasional
Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Nasional
Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Nasional
Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

Nasional
Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Nasional
Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Nasional
Wapres Kunker ke Mamuju, Saksikan Pengukuhan KDEKS Sulawesi Barat

Wapres Kunker ke Mamuju, Saksikan Pengukuhan KDEKS Sulawesi Barat

Nasional
Momen Jokowi Jadi Fotografer Dadakan Delegasi Perancis Saat Kunjungi Tahura Bali

Momen Jokowi Jadi Fotografer Dadakan Delegasi Perancis Saat Kunjungi Tahura Bali

Nasional
Berjasa dalam Kemitraan Indonesia-Korsel, Menko Airlangga Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari GNU

Berjasa dalam Kemitraan Indonesia-Korsel, Menko Airlangga Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari GNU

Nasional
Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com