DEBAT ketiga yang diikuti tiga calon presiden pada 7 Januari 2024, oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih jauh dari substansi dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sejak debat pertama, yang ditampilkan oleh para kandidat capres-cawapres seperti cerdas cermat tingkat dasar. Bukan mengedepankan gagasan.
Hal yang lebih ironi lagi debat hanya seolah menjadi ajang mengumbar emosi. Masyarakat yang kritis kerapkali mempertanyakan isu konkret dari penyelesaian masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa.
Namun, alih-alih mengelaborasi ide, yang terjadi justru malah saling sindir dan serang secara personal.
Jika yang dibantah itu berkaitan dengan kebijakan publik yang memerlukan adanya transparansi dan akuntabilitas serta akurasi data, tentu saja ini bukan serangan secara personal.
Namun jika yang ditanya berkaitan dengan pribadi calon dan sengaja mencari kesalahan untuk melemahkan calon sebagai bagian dari strategi politik, sudah jelas bisa dikategorikan serangan secara personal.
Tidak bisa dimungkiri selama masa tahapan kampanye berlangsung, publik lebih banyak disuguhkan gimik dan pertunjukan semu dari para pasangan calon. Kampanye didominasi pencitraan politik yang menyasar sisi emosional pemilih.
Dalam kajian komunikasi politik dan ruang publik, debat kandidat menjadi ruang komunikasi dua arah (two way communication) dan hadir menyuguhkan suasana kampanye politik yang berkualitas. Di situlah rasionalitas dan nalar kandidat diuji.
Dialektika yang mempertemukan antara kepentingan rakyat melalui para panelis yang mewakili akademisi dengan kandidat.
Meskipun memang hanya dengan waktu yang sangat terbatas, panggung debat jika dipersiapkan, dikelola, dan dilakukan manajemen kesan dengan baik dan optimal, sesungguhnya debat capres dan cawapres yang digelar lima kali bisa memberi sumbangan suara. Sebab, masih ada ceruk pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) serta swing voters (Heryanto, 2023).
Di tengah kemunduran demokrasi yang terjadi di Indonesia, publik seharusnya tidak disuguhkan dengan wacana eksklusif elitis oligarki yang semakin menjauhkan dari problematika di kalangan grass root.
Debat yang sifatnya monolog ini, tidak memiliki ruang demokrasi untuk masyarakat bisa menyampaikan aspirasi dan pendapat.
Bahkan, para panelis debat saja saat berperan dalam debat hanya mengambil bola dalam gelas besar untuk diserahkan kepada moderator debat.
Harusnya dengan waktu yang sangat sempit, kandidat bisa memanfaatkan momentum tersebut dengan baik, tidak menjadi provokator dan memicu riakan dari para pendukung.
Sejalan dengan itu, Michael Foucault dalam teori post modernism mengungkapkan bahwa politik kekuasaan tidak pernah bisa dilepaskan dari pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan bisa melahirkan kekuasaan.