DI MATA penulis, eskalasi panas dan retak anak bangsa seperti Pilpres 2014 dan 2019 lalu, kali ini tak segerah sebelumnya.
Kontestan tiga kandidat (tak lagi dua seperti dua Pilpres sebelumnya) cukup berkontribusi; Pemilu tak lagi bersifat hitam putih! If you are not with us, so you are against us!
Barangkali kita semua rasakan, saking panasnya kala itu, terutama 2019, sampai muncul diksi-diksi khas. Pilihan kata mencuat dengan maksud utama ngeyek (meledek) pada lawannya masing-masing.
Untuk Cebong, alias pendukung Joko Widodo (Jokowi), kerap tajam melabeli suporter Prabowo Subianto sebagai Kampret. Sekali lagi, saking panasnya saat itu, jika warganet tak dukung Prabowo, misalnya, maka auto disebut Cebong.
Dan penulis kira, hal ini cukup membuat jengah dan muak banyak orang, terutama kepada yang mendukung secara moderat/tetap bersifat kritis ke dua paslon.
Betapa tidak memuakkan. Mereka yang sudah disematkan sebagai Cebong, maka diksi ngeyek ini akan lungsur kepadanya: IQ 200 Sekolam, Jaenudin Nachiro, Mukidi, Unicorn, Kelas Menengah Ngehe, dan seterusnya.
Mereka yang Kampret, auto akan peroleh aneka julukan ledekan berikut: Kaum Bumi Datar, Kaum sumbu pendek, Monaslimin, Politik Sontoloyo dan Genderuwo, dan banyak lagi.
Saking pentingnya fenomena ini, pengajar dan peneliti di Pusat Kajian Komunikasi UI, Clara Endah Triastuti, kala itu meneliti khusus hal ini.
Menurut dia, hal itu terjadi karena pengguna internet tidak hanya mengonsumsi konten, tapi juga menjadi menciptakan konten.
"Pergerakan politik menurut saya sekarang berubah. Mereka yang melakukan propaganda politik mulai melihat pasar juga dan mulai mengubah bentuk-bentuk propagandanya. Jadi politik itu tidak diletakkan dalam ranah formal, tapi dalam ranah yang populer," katanya saat diwawancara BBC News Indonesia, 5 April 2019.
Kini, penulis melihat konfrotansi tak setebal itu lagi. Ujaran ledekan, untuk tidak menyebut ujaran kebencian, tak begitu sepekat dan sekental lima tahun lalu. Memang masih ada, tapi tak "segila" dua pemilu kemarin.
Mereka yang tak bersamamu (contoh: pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar), tidak dengan sendirinya menjadi lawanmu karena belum pasti pendukung Prabowo (masih ada Ganjar Pranowo-Mahfud MD).
Kita bisa telusuri jika PKB-Nasdem yang kala itu disematkan Cebong, adalah mereka yang kini bersama PKS yang disebut sebagai salah satu motor partai dari Kampret. Maka, tak bisa lagi antarkader dan simpatisan partai itu saling ledek karena kini se-haluan.
Pendukung/simpatisan PDIP, yang selama ini identik dengan Cebong, juga tak bisa serta merta meledek pendukung PKS seperti Pilpres 2014 dan 2019.
Sebab, kita bisa rasakan, suasana batin mereka malah jadi senapas dengan perjuangan PKS soal kolusi penguasa. Masih ingat amarah Megawati Soekarnoputri soal pemimpin baru berlaku seperti Orde Baru??