SEIRING besarnya resistensi dan disinformasi terhadap pengungsi, lembaga penangangan pengungsi internasional dan platform media sosial harus segera membaca pola dan mengambil tindakan sebelum gelombang berikutnya datang tahun depan.
Ada kejadian apa di Malaysia/Myanmar pada akhir tahun, hingga dua kali berturut-turut mendatangkan gelombang pengungsi?
Bagaimana meredakan ketegangan antara warga setempat dan pengungsi? Mengapa disinformasi di platform media sosial terus menyebar tanpa ada klarifikasi?
Mereka terbagi ke dalam tujuh kapal dengan waktu kedatangan yang tidak sama, dengan satu tujuan: mencari perlindungan.
Indonesia bukan kali pertama menghadapi gelombang pengungsi. Ribuan pengungsi Perang Vietnam berdatangan pada Mei 1975, ke kawasan kepulauan Natuna dan pulau-pulau kecil Kepulauan Riau.
Sepanjang sejarah penanganan pengungsi di Indonesia tidak pernah ada pengusiran: mereka selalu ditampung.
Walau tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi, Indonesia tunduk dan taat terhadap non refoulment principle sebagai prinsip yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional: tidak seorang pun dapat ditolak atau dikembalikan ke negara asalnya jika mereka masih mengalami rasa takut akan dipersekusi di negara asalnya.
Senapas dengan Peraturan Presiden No. 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, Indonesia sudah memberikan ruang kepada lebih dari 12.000 individu lain yang lari dari negara asalnya, berdiam di wilayah NKRI, bertahun-tahun menunggu proses penempatan di negara ketiga.
Banyak cerita bagaimana pengungsi bisa hidup berdampingan dengan warga Indonesia.
Misalnya, Tsabina (nama disamarkan), pengungsi asal Somalia berumur tiga tahun. Mengenyam pendidikan PAUD di Jakarta Selatan, ia hidup bersama 17 perempuan dan wanita di salah satu rumah berjarak 200 meter jauhnya dari PAUD.
Tsabina juga mendapat hak penuh untuk mengakses layanan posyandu setempat sejak lahir. Tsabina dan penghuni “shelter Manggarai” merupakan satu di antara ribuan anak pengungsi yang diterima, bahkan dapat berbaur dengan warga, jika warga diberi kesempatan untuk bisa mengenal siapa mereka dan latar belakangnya.
Sejak Mei 2015 lalu, ribuan pengungsi Rohingya sudah berdatangan dan berdiam di daratan Aceh, baik di area Pidie, Lhokseumawe, dan area Aceh Utara lainnya.
Penolakan besar terjadi di Tanah Rencong pertengahan November lalu, warga lokal menghalau perahu yang membawa 265 pengungsi Rohingya setelah lama terombang ambing di laut untuk berlabuh.
Warga merasa perilaku imigran Rohingya merepotkan mereka. Perasaan warga sangat bisa dimaklumi, karena perbedaan adat, budaya, dan norma sosial merupakan hal yang tidak terelakkan ketika ada orang luar daerah masuk ke dalam daratan kita.
Mengingat gelombang pengungsi tahun ini bukan yang pertama kalinya, seharusnya warga setempat diberikan pelatihan dan persiapan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).