Sungguh disayangkan lembaga internasional yang bekerja di isu pengungsian ini gagal membaca pola arus gelombang pengungsi Rohingya, yang tiap tahun pada bulan yang sama mengarungi lautan lalu terdampar di wilayah kedaulatan Indonesia.
Alih-alih, yang mereka lakukan saat ini hanyalah sebatas “memadamkan api” dan bukan tindakan preventif.
Ledakan kemarahan warga yang terjadi adalah konsekuensi dari tidak siapnya lembaga pengungsian internasional dalam mempersiapkan, bukan hanya warga lokal, tetapi juga pemerintah daerah. Seharusnya menjadi tanggung jawab mereka untuk mempersiapkan kapasitas ini.
Tidak mengherankan bila lantas banyak disinformasi yang menyebar di platform media sosial, gara-gara ketidaksiapan warga lokal dalam menerima pengungsi.
Apalagi menjelang Pilpres 2024, masalah ini menyebar bukan lagi hanya di tingkat lokal, tapi juga di tingkat nasional.
Salah satu disinformasi yang marak disebarkan, misalnya, bagaimana potongan video salah satu capres diolah sedemikian rupa solah-olah ia mendukung Rohingya untuk datang dan tinggal lama di Indonesia, disebarkan ratusan dan telah ditonton ribuan kali.
Naasnya, pelaporan media mengenai isu pengungsi masih minimal, jika bukannya malah menyulut api terhadap maraknya disinformasi.
Salah satu berita online, misalnya, mengungkit anggapan tentang pengungsi Myanmar yang tidak bersyukur sudah diberikan makanan—senada dengan narasi serupa disinformasi yang beredar di media sosial. Salah satu unggahan semacam ini di X, masih menyebar dengan 4.985 kali dilihat.
Setiap platform, media, maupun pihak swasta penyiaran lainnya mempunyai tanggung jawab dalam meluruskan informasi yang beredar.
Membiarkan disinformasi tetap beredar di platform mereka justru membuka ruang terjadinya ujaran kebencian akibat terbakar informasi yang menyesatkan.
Ujaran kebencian ini kemungkinan besar mampu memengaruhi publik yang lebih besar untuk turut menolak, bahkan membenci pengungsi Rohingya.
Seruan bahkan ajakan untuk menolak pengungsi Rohingya sudah jelas terpampang di banyak platform media sosial.
Kita tidak perlu menunggu sampai bentrokan antarkelompok terjadi dahulu seperti yang terjadi di Myanmar pada 2014, saat marak berita bohong yang tersebar di Facebook yang menuduh seorang Muslim Myanmar memerkosa perempuan beragama Buddha.
Dalam pedoman Bisnis dan HAM PBB, platform sebagai aktor non-negara, mempunyai tanggung jawab untuk menghormati HAM dan menyediakan rentetan mekanise pemulihan terhadap korban.
Baik itu terjadi secara langsung karena kelalaian pelaku usaha atau karena ketidaksengajaan dalam aktivitas bisnisnya.