JAKARTA, KOMPAS.com - Enam serikat buruh dan 3 organisasi nonprofit mengajukan diri sebagai pihak terkait ke Mahkamah Konstitusi (MK), menolak dihapusnya pelaut dari Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran (PPM) Indonesia.
Sembilan unsur ini tergabung di dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI). Mereka merasa perlu melawan upaya uji materi yang meminta penghapusan frasa "pelaut awak kapal dan pelaut perikanan" dari bagian pekerja migran Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut.
Kuasa hukum TAPMI Jeanny Sirait mengatakan, permohonan sebagai pihak terkait itu diajukan. berdasarkan prinsip bahwa pelaut adalah pekerja yang seharusnya dipenuhi hak-haknya berdasarkan ketentuan ketenagakerjaan.
Ia juga menyampaikan, UU PPM merupakan aturan terbaik untuk melindungi pelaut sebagai pekerja migran.
Baca juga: MK Segera Gelar RPH Gugatan Ulang Batas Usia Capres-cawapres
"Kami meyakini bahwa pekerja harusnya selain dipenuhi hak-haknya, juga harus memiliki kepastian kerja sebagaimana ditentukan dalam konstitusi kita," kata Jeanny kepada wartawan di gedung MK, Senin (20/11/2023).
Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal dan Transportasi Indonesia, Syofyan, juga menyebutkan hal yang sama. Penghapusan pelaut dari kategori pekerja migran merupakan sebuah kemunduran, menurutnya, dalam hal perlindungan pekerja migran Indonesia.
"Kenapa? Karena kita melihat UU Pelayaran selama ini yang ada, tidak mencakup pelindungan terhadap pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing. Apabila itu terjadi, maka itu merupakan suatu kemunduran dan kami yakin dan percaya hal itu akan sangat-sangat merugikan pelaut, baik pelaut dalam negeri maupun pelaut sebagai pekerja migran," ucap Syofyan dalam kesempatan yang sama.
Baca juga: Babak Baru Polemik Putusan MK soal Batas Usia Capres dan Cawapres, Polisi Kini Terlibat
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia, Hariyanto Suwarno, mengatakan upaya memasukkan pelaut ke dalam kategori pekerja migran adalah perjuangan menahun demi jaminan kesejahteraan dan pelindungan serta keseteraan posisi dengan pekerja migran di sektor lain.
"Jika judicial review ini dikabulkan, ini artinya kemunduran,” kata dia.
"Seandainya (pasal yang mengatur pelaut sebagai pekerja migran) dicabut, tentu akan menjamur perusahaan-perusahaan penempatan awak kapal migran yang tidak terkontrol," lanjut Hariyanto.
Saat ini, perkara uji materi yang diregistrasi dengan nomor 127/PUU-XXI/2023 tersebut sudah melewati fase perbaikan permohonan.
Baca juga: Bareskrim Usut Kebocoran Rapat MK soal Putusan Usia Capres-Cawapres
Gugatan uji materi ini diajukan Imam Syafi’i selaku Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Pemohon II), dan Ahmad Daryoko selaku Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia (Pemohon III).
Imam Syafi’i menilai akibat keberlakuan norma tersebut berdampak pada tumpang tindih regulasi dari beberapa tingkatan undang-undang, di antaranya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Dengan beralihnya kewenangan kementerian yang menyelenggarakan urusan pelayaran dari Kementerian Perhubungan ke Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), menurut dia, jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan.
Sementara itu, Ahmad Daryoko mewakili perusahaan yang bergerak dalam aktivitas keagenan awak kapal, merasa dirugikan karena harus mengantongi surat izin perekrutan pekerja migran Indonesia yang diterbitkan oleh Kepala BP2MI.
Ia mengeklaim, ketentuan ini membuatnya dikriminalisasi dengan telah ditetapkannya sebagai tersangka dan saat ini dalam proses penahanan pada rumah tahanan negara oleh Penyidik Ditreskrimum Polda Jateng dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Selain itu, norma tersebut juga dianggapnya berpotensi menimbulkan kerugian dalam menjalankan usaha keagenan awak kapal, karena berpotensi membuatnya tidak dapat bekerja sama dengan agen awak kapal asing yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Baca juga: Mahfud MD: Jangan Takut, Penyakit di MK Sudah Diamputasi
Oleh karena itu, dalam petitum gugatannya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.