PUTUSAN Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan beberapa hakim MK baru-baru ini memperpanjang daftar kesemrawutan sistem hukum kita yang akan semakin memperburuk kepercayaan publik dan dunia usaha kepada institusi hukum nasional.
Artinya, putusan MKMK memperburuk kualitas kepastian hukum dan tingkat konstitusionalitas putusan hakim di Indonesia, karena hakim yang memutus perkara bisa dinyatakan melanggar etika, tapi putusannya justru tidak bisa diganggu gugat.
Arti lainnya, putusan tersebut menambah jumlah preseden buruk ketidakpastian aturan konstitusi nasional dan buruknya reputasi penegak hukum kita setelah kasus yang melanda Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli N. Bahuri, baru-baru ini.
Padahal publik sangat memerlukan kepastian hukum dan konsistensi penegakan konstitusi untuk tetap bisa merasa aman dan nyaman hidup di Indonesia di mana aturan seharusnya tidak berubah sewaktu-waktu tanpa aba-aba yang berpotensi melanggar hak asasi manusia atas nama kekuasaan yang sedang berkuasa.
Jika kepastian hukum semakin menipis, hakim-hakim semakin banyak yang melanggar etika, para penegak hukum semakin banyak bermain-main dengan penegakan hukum, dan kepastian atas setiap keputusan hukum semakin diragukan, maka publik akan merasa semakin was-was hidup di Indonesia.
Jangan-jangan sewaktu-waktu akan ada hakim di MK, misalnya, yang menyatakan bahwa presiden boleh menjabat selama tiga periode atau pemilihan ditunda karena satu dan lain hal, yang membuat hak politik kita sebagai pemilih mendadak hilang.
Lalu setelah itu, hakimnya hanya akan diganjar hukuman penonaktifan, tanpa pembatalan atas putusan yang telah dikeluarkan.
Kondisi tersebut sangat dilematis sekaligus miris, baik secara hukum maupun secara politik. Bahkan peristiwa-peristiwa politik belakangan ini meyakinkan saya bahwa Indonesia saat ini sudah memasuki fase yang disebut oleh Sosiolog Colin Crouch sebagi fase "post democracy society", sebagaimana dijelaskan dalam bukunya yang terbit pada 2004 lalu, berjudul "Post Democracy".
Isu yang diangkat Colin sangat menarik, walaupun disayangkan, substansinya tidak terlalu populer pada tahun-tahun berikutnya setelah buku tersebut terbit.
Kendati demikian, banyak indikasi yang dikatakan Colin yang sebenarnya eksis dalam realitas perdemokrasian, termasuk di Indonesia.
Menurut Colin, era "post democracy society" adalah "one that continues to have and to use all the institutions of democracy, but in which they increasingly become a formal shell. The energy and innovative drive pass away from the democratic arena and into small circles of a politico-economic elite."
Realitas nyatanya memang seperti itu, terutama untuk Indonesia. Demokrasi hanya menjadi semacam standar minimal saja.
Sementara itu, di sisi lain dinasti politik, pelibatan sanak famili ke dalam panggung politik, politik balas budi, politik harga teman, cengkeraman oligarki, tetap berlangsung di mana pada akhirnya kerentanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme justru kian subur terpupuk di sini.
Dengan kata lain, demokrasi diperlakukan semata sebagai instrumen teknis yang tidak terkait dengan tujuan lebih tinggi, seperti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghargaan kepada kemanusiaan serta hak-hak sosial ekonomi yang melekat.
Dengan indikasi yang sama, kemudian di daratan Amerika Serikat, Sosiolog Larry Diamond juga akhirnya menyimpulkan bahwa telah terjadi resesi demokrasi di negara-negara yang awalnya sempat terkena sapuan gelombang ketiga demokrasi versi pakar politik Amerika Serikat, Samuel P. Huntington.