Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Virdika Rizky Utama
Peneliti PARA Syndicate

Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.

Eufemisme Pejabat di Tahun Pemilu

Kompas.com - 07/11/2023, 11:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM lanskap komunikasi politik, pilihan kata-kata tidak pernah netral. Pemilihan kata menjadi hal yang sangat dipertimbangkan dalam “permainan catur” persepsi publik.

Manuver ini terlihat ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani mengomentari pelemahan rupiah sebagai konsekuensi dari penguatan dollar AS, bukan devaluasi.

Demikian pula ketika Wakil Presiden Ma'ruf Amin berbicara tentang kasus kematian masyarakat di Yahukimo, Papua Pegunungan. Dia menyebut kematian disebabkan kekurangan pangan, bukan kelaparan.

Pemilihan kata itu disengaja. Ini bukan sekadar pilihan semantik, melainkan alat politik yang dirancang untuk menavigasi kompleksitas dan kepekaan sentimen publik.

Eufemisme telah lama menjadi mata uang dalam wacana politik, di mana ia menampakkan hal yang “nyaman”, ketimbang kebenaran yang “tidak nyaman”.

Eufemisme bertindak sebagai tabir linguistik, melunakkan realitas yang “keras”, dan memungkinkan para pejabat mengendalikan narasi.

Strategi linguistik ini biasa digunakan pada saat krisis atau ketika menangani isu-isu yang berpotensi menimbulkan emosi negatif.

Penggunaan bahasa halus oleh pejabat publik seperti Sri Mulyani dan Ma'ruf Amin menunjukkan bahwa kebijakan jauh dari hasil-hasilnya.

Adapun menjelaskan pelemahan mata uang sebagai imbas dari dollar AS yang menguat adalah pengalihan dari kesalahan langkah dalam kebijakan ekonomi atau tekanan ekonomi eksternal yang mungkin terjadi.

Demikian pula dalam menggambarkan situasi mengerikan di Yahukimo sebagai "kekurangan pangan" dan bukannya "kelaparan". Penggambaran situasi ini akan menurunkan urgensi atas krisis tersebut, sehingga berpotensi menunda respons yang seharusnya.

Implikasi dari bahasa yang eufemistik seperti itu sangat besar, terutama menjelang pemilu 2024. Bahasa seperti itu dapat membuat publik tidak peka terhadap tingkat keparahan masalah, sehingga menurunkan urgensi untuk melakukan tindakan politik atau reformasi.

Desensitisasi ini dapat menyebabkan apatisme pemilih, di mana pemilih menjadi mati rasa terhadap kesulitan ekonomi atau krisis kemanusiaan, memandangnya sebagai sesuatu yang jauh ketimbang isu-isu yang diatasi melalui proses pemilu.

Bahaya bahasa eufemistik dalam politik menjadi sangat akut ketika bahasa tersebut digunakan sebagai tabir untuk menutupi kelambanan atau kebijakan yang tidak memadai.

Ketika pejabat menggunakan bahasa yang halus untuk menggambarkan masalah ekonomi dan sosial, mereka mengaburkan kebenaran atas masalah-masalah ini sekaligus mengindikasikan rendahnya urgensi untuk mengatasinya.

Hal ini mengarah pada tindakan atau upaya penyelesaian yang “setengah-setengah” dan respons yang lambat.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com