JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menilai, pencalonan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) terjadi lantaran adanya rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, putra sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang berusia 36 tahun itu dipilih sebagai bakal cawapres oleh Prabowo Subianto untuk bertarung dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Padahal, berdasarkan aturan yang ada, syarat usia bakal capres-cawapres minimal adalah 40 tahun. Namun, Gibran lolos setelah adanya putusan MK yang mengubah syarat tersebut.
Baca juga: Ganjar: Saya Tetap Hormati Pak Jokowi dan Mas Gibran sebagai Pilihan Politik
Menurut Hasto, pencalonan Gibran Rakabuming ini merupakan bentuk political disobidience atau ketidaktaatan politik terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia.
"Kesemuanya dipadukan dengan rekayasa hukum di MK," kata Hasto Kristiyanto dalam keterangan tertulis, Minggu (29/10/2023).
Hasto pun menyinggung adanya tekanan politik dari kekuasaan yang membuat pencalonan Gibran Rakabuming Raka terwujud.
Bahkan, Sekjen PDI-P itu mengeklaim, ada ketua umum (Ketum) partai politik yang kartu trufnya dipegang. Dalam dunia politik, kartu kartu truf merupakan kiasan yang dimaksud untuk mengunci pihak lain.
"Saya sendiri menerima pengakuan dari beberapa ketua umum partai politik yang merasa kartu trufnya dipegang. Ada yang mengatakan life time 'saya hanya harian', lalu ada yang mengatakan 'kerasnya tekanan kekuasaan',” ungkap Hasto.
Dalam kesempatan ini, Hasto mengungkapkan rasa sayang partainya untuk Jokowi dan keluarga. Dukungan PDI-P mengalir ke Joko Widodo sejak menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden RI dua periode.
Baca juga: Gerak Prabowo-Gibran di Akhir Pekan: Resmikan Sumber Air Banyumas dan Sambangi Salatiga
Selain itu, Gibran Rakabuming Raka juga didukung PDI-P menjadi Wali Kota Solo. Bahkan, menantu presiden Jokowi, Bobby Nasution, turut didukung "Partai Banteng" menjadi Wali Kota Medan.
"Seluruh simpatisan, anggota, dan kader partai sepertinya belum selesai rasa lelahnya setelah berturut-turut bekerja dari lima pilkada dan dua pilpres. Itu wujud rasa sayang kami," kata Hasto.
Meskipun dukungan selama puluhan tahun diberikan oleh PDI-P, Partai Banteng tetap ditinggalkan oleh Jokowi dan keluarga. Hal ini menimbulkan kesedihan mendalam bagi PDI-P dan akar rumputnya yang membesarkan nama Jokowi dan keluarga.
"Pada awalnya kami memilih diam. Namun apa yang disampaikan Butet Kartaredjasa, Goenawan Muhammad, Eep Syaifullah, Hamid Awaludin, Airlangga Pribadi dan lain-lain beserta para ahli hukum tata negara, tokoh pro demokrasi dan gerakan civil society, akhirnya kami berani mengungkapkan perasaan kami," tutur Hasto.
"PDI Perjuangan saat ini dalam suasana sedih, luka hati yang perih, dan berpasrah pada Tuhan dan Rakyat Indonesia atas apa yang terjadi saat ini," ucapnya.
Menurut Hasto, tidak sedikit akar rumput PDI-P yang percaya bahwa kader terbaiknya itu rela berpaling dari Partai Banteng. Padahal, Jokowi telah diberikan dukungan akar rumput dan seluruh simpatisan PDI-P sejak menjadi Wali Kota Solo hingga menjabat sebagai Kepala Negara.
Baca juga: PDI-P Sebut Pencalonan Gibran Pembangkangan Konstitusi