JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan, terjadi peningkatan jumlah informasi hoaks terkait pemilihan umum (pemilu) jelang pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
Peningkatan terhitung hampir 10 kali lipat jika dibandingkan pada 2022.
"Kemenkominfo mencatat bahwa sepanjang 2022 hanya terdapat 10 hoaks pemilu. Namun, sepanjang Januari 2023 hingga 26 Oktober 2023 terdapat 98 isu hoaks pemilu," ujar Budi Arie dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring pada Jumat (27/10/2023).
"Berarti terjadi peningkatan hampir 10 kali lipat isu hoaks dibandingkan tahun lalu. Secara khusus meski terlihat fluktuatif sejak Juli 2023 terjadi peningkatan signifikan dari bulan ke bulan sebelumnya," tutur dia.
Baca juga: Beredar Video Jokowi Pidato Berbahasa Mandarin, Kemenkominfo Nyatakan Hoaks
Merujuk pemungutan suara yang jatuh pada 14 Februari 2024, Budi Arie menyebut, pelaksanaan pemilu kurang 109 hari lagi.
Ia pun meminta masyarakat bersiap merespons penyebaran hoaks terkait pemilu yang semakin meningkat.
Budi Arie menyebutkan, hoaks pemilu paling banyak ditemukan di platform media sosial Meta (sebelumnya Facebook).
Kementerian Kominfo sudah mengajukan take down terhadap 454 konten hoaks ke pihak Meta.
"Kondisi ini tentu harus mejadi kekhawatiran kita bersama. Bahwa hoaks pemilu sebagai salah satu bentuk information disorder tidak hanya menurunkan kualitas demokrasi, tapi juga berpotensi memecah belah persatuan bangsa," kata dia.
"Akibatnya pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi dapat terkikis integritasnya serta menimbulkan distrust, ketidakpercayaan antar warga bangsa," kata Budi Arie.
Baca juga: [HOAKS] KPU Tolak Pendaftaran Gibran sebagai Cawapres
Beberapa contoh hoaks pemilu yang beredar dan dicatat oleh Kementerian Kominfo, menurut Budi Arie, yakni disinformasi soal Prabowo Subianto yang gagal mencalonkan diri sebagai presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan batas usia syarat capres.
Selain itu, disinformasi bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak pendaftaran Ganjar Pranowo menjadi capres karena ingin menjegal Anies Baswedan.
Tidak hanya menyasar bakal capres dan bakal cawapres, isu hoaks dan disinformasi turut menyasar reputasi KPU dan penyelenggaraan pemilu.
"(Tujuannya) untuk menimbulkan distrust kepada pemilu kita. Contoh hoaks lainnya adalah kami menemukan konten terkait temuan uang palsu di Pandeglang yang akan digunakan untuk membeli suara pada pilpres 2024," ungkap Budi.
"Dan disinformasi penerbitan draf surat suara capres cawapres 2024 padahal KPU belum melakukan penerbitan atau pencetakan surat suara," kata dia.