KONDISI Indonesia saat ini banyak diwarnai fenomena benturan kepentingan yang semakin meluas dan lumrah ditemukan dalam pemerintahan.
Salah satu contoh utama benturan kepentingan adalah praktik nepotisme di berbagai tingkatan pemerintahan.
Dalam banyak kasus, pejabat pemerintah yang memiliki hubungan keluarga atau persahabatan dekat dengan pihak-pihak yang memiliki kontrak bisnis dengan pemerintah, seringkali mendapatkan keuntungan tidak adil dalam pemberian kontrak-kontrak tersebut.
Hal ini merugikan negara dan masyarakat serta merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan.
Celakanya, fenomena benturan kepentingan terbuka dan tampak di Indonesia telah menjadi masalah serius yang merongrong integritas sistem pemerintahan.
Keberadaan benturan kepentingan yang dipermaklumkan mengakibatkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik.
Tindakan yang tampak dan tergolong dalam fenomena benturan kepentingan, yaitu sering terwujud dalam bentuk rangkap jabatan di posisi strategis yang dapat merusak integritas pemerintahan.
Contoh nyata adalah ketika ketua partai politik yang juga menduduki jabatan menteri dalam pemerintahan. Situasi ini memunculkan konflik kepentingan yang jelas, di mana mereka harus memutuskan antara kepentingan partai dan kepentingan publik.
Seiring dengan itu, banyak pengusaha yang juga menduduki jabatan sebagai regulator, berpotensi memengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi atau bisnis mereka.
Fenomena ini membuka pintu bagi ketidakadilan dalam perlakuan terhadap berbagai pihak dalam masyarakat, serta memengaruhi perkembangan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Terbaru, benturan kepentingan juga merambah ke ranah yudikatif, yang seharusnya menjadi lembaga independen menjalankan tugasnya tanpa intervensi eksternal.
Kasus terbaru yang mencolok adalah ketika Hakim Konstitusi Anwar Usman tidak mengundurkan diri ketika memutuskan suatu kasus terkait dengan keponakannya, yaitu Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo.
Keputusan tersebut menciptakan kecurigaan terhadap integritas lembaga peradilan dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Benturan kepentingan semacam ini tidak hanya mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi, tetapi juga berpotensi merusak rule of law di Indonesia.
Praktik-praktik tersebut telah merugikan negara, menghambat pembangunan berkelanjutan, dan menciptakan ketidaksetaraan dalam pelayanan publik.