SAYA adalah bagian dari banyak orang di republik ini. Orang yang sangat kecewa dan tetap menyoal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Saya ingin mengungkapkan kekecewaan saya semata dari dalil hukum yang saya pahami.
Saya memang bukan negarawan seperti sejumlah hakim MK itu. Namun, saya masih sangat waras untuk berlaku kritis. Saya masih memiliki akal sehat untuk tidak serta merta mengamini putusan MK tersebut.
Beberapa hari sebelum putusan itu keluar, pemohon judicial review mencabut permohonannya.
Sehari setelah penarikan tersebut, pemohon kembali mengajukan gugatannya, sama persis dengan gugatan yang sudah ditariknya. Hebatnya, MK belum membicarakan permohonan ulang itu, langsung diputuskan hari Senin.
Dengan ini saja, akal waras kita sudah terasa dihimpit oleh ketidakberesan prosedural MK.
Apakah MK memang sudah begitu rendah martabatnya sehingga lembaga tersebut bisa dengan enteng memperkenankan tiap orang, berlalu lalang kapan saja, untuk meminta stempel pengesahan keinginan?
Apakah memang MK tinggal sebagai sebuah bangunan belaka, tanpa nurani, nihil kepribadian, sehingga tiap orang memperoleh lisensi mutlak untuk mendiktekan kehendak?
Bagaimana dengan komposisi para hakim yang mengambil putusan?
Nah, ini masalah utamanya sehingga saya tergelitik menulis esei ini. Sepintas memang, seolah-olah ada lima orang hakim yang setuju bahwa persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden di republik ini, tidak lagi bergantung pada bilangan minimal usia 40 tahun, tetapi pengalaman empirik, pernah atau sedang menjadi pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah.
Empat orang lainnya melakukan dissenting opinion. Maka, bila dilakukan voting, lima orang hakim mengalahkan empat orang hakim yang melakukan dissenting opinion tadi.
Hasilnya, jalan tol bebas hambatan bagi Gibran, putra Presiden Jokowi, akan melenggang menjadi calon wakil presiden.
Namun, tunggu dulu.
Dua dari lima orang orang hakim MK tadi, yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Y Pancaksati berpendapat bahwa konsep kepala daerah adalah gubernur. Bukan bupati atau wali kota.
Maka, bila kita melihat komposisi hakim yang terdiri atas sembilan orang tersebut, tiga orang hakim: Anwar Usman (Ketua MK), Guntur Hamzah dan Manahan Sitompul, memberi jalan mulus bagi Gibran Rakabuming menjadi calon wakil presiden.