Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Politik Dinasti Memunggungi Semangat Republik

Kompas.com - 19/10/2023, 13:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 1945, saat para pendiri bangsa sedang berdebat soal bentuk negara di Sidang BPUPKI, menggema kuat perdebatan soal bentuk negara Republik atau Monarki.

Menariknya, mayoritas suara peserta sidang mengumandangkan penolakan terhadap kekuasaan politik yang diwariskan turun-temurun berdasarkan hubungan kekerabatan atau monarki.

“Monarki tentulah mendatangkan dinasti, baik dinasti yang baru maupun yang dipilih dari pada dinasti yang ada di tanah kita,” kata Mohammad Yamin.

Menurut dia, model dinasti tidak cocok dengan Indonesia merdeka dan kemauan rakyat yang tak mau diperintah ala kerajaan secara turun-temurun.

Singkat cerita, karena perdebatan tak bertemu kata mufakat, sidang menyetujui voting untuk memilih bentuk negara Republik atau monarki. Menariknya lagi, sebelum voting dimulai, sidang mengheningkan cipta sejenak dan membacakan doa.

Hasil voting menunjukkan, dari 66 suara peserta sidang, 55 orang memilih Republik, 6 orang memilih Monarki, 2 orang memilih sistem lain, dan 1 blanko kosong.

Dari risalah sidang BPUPKI itu, kita bisa menangkap semangat besar dan mimpi nan mulia di balik pilihan bentuk negara Republik.

Pertama, penolakan terhadap model kekuasaan yang diwariskan turun-temurun. Kedua, keinginan meletakkan Indonesia di atas prinsip kedaulatan rakyat, yaitu kekuasaan yang dipilih oleh rakyat, dijalankan secara demokratis, dan bermuara pada kebaikan bersama.

Menguatnya politik dinasti

Sayang seribu kali sayang, sungguh pun Indonesia masih berbentuk negara Republik, tetapi penyelenggaraan kekuasaan politiknya banyak terkontaminasi oleh politik dinasti.

Pada masa Orde Baru, politik dinasti dipertontonkan sangat telanjang. Pada 16 Maret 1998, Soeharto menunjuk anak sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana, sebagai Menteri Sosial di Kabinet Pembangunan VII.

Sebelumnya, Tutut sudah menjadi anggota MPR-RI dari Fraksi Golkar (1992-1998) berkat akses kekuasaan bapaknya. Jabatan Tutut memang singkat: hanya 2 bulan 5 hari.

Perjuangan demokrasi, yang bergandengan tangan dengan perlawanan terhadap kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), berhasil melengserkan Soeharto pada 21 Mei 1998.

Namun, pascareformasi, meskipun ada aspirasi yang kuat untuk melawan politik dinasti dan KKN, tetapi ketiadaan kekuatan progresif yang mewarnai ruang-ruang politik elektoral telah menghamparkan jalan bagi menguatnya politik oligarki dan dinasti.

Jika di masa Orba, politik dinasti dipertontonkan di level nasional, maka pascareformasi dinasti politik menjalar dari nasional hingga lokal (provinsi dan kabupaten/kota).

Muncul dinasti-dinasti politik di lokal, seperti dinasti Fuad di Bangkalan (Jawa Timur), dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, dinasti Narang di Kalimantan Tengah, dinasti Sjachroedin di Lampung, dan dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

Nasional
PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

Nasional
BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

Nasional
Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut Rusak 27 Unit Rumah, 4 di Antaranya Rusak Berat

BNPB: Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut Rusak 27 Unit Rumah, 4 di Antaranya Rusak Berat

Nasional
Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com