PADA 1945, saat para pendiri bangsa sedang berdebat soal bentuk negara di Sidang BPUPKI, menggema kuat perdebatan soal bentuk negara Republik atau Monarki.
Menariknya, mayoritas suara peserta sidang mengumandangkan penolakan terhadap kekuasaan politik yang diwariskan turun-temurun berdasarkan hubungan kekerabatan atau monarki.
“Monarki tentulah mendatangkan dinasti, baik dinasti yang baru maupun yang dipilih dari pada dinasti yang ada di tanah kita,” kata Mohammad Yamin.
Menurut dia, model dinasti tidak cocok dengan Indonesia merdeka dan kemauan rakyat yang tak mau diperintah ala kerajaan secara turun-temurun.
Singkat cerita, karena perdebatan tak bertemu kata mufakat, sidang menyetujui voting untuk memilih bentuk negara Republik atau monarki. Menariknya lagi, sebelum voting dimulai, sidang mengheningkan cipta sejenak dan membacakan doa.
Hasil voting menunjukkan, dari 66 suara peserta sidang, 55 orang memilih Republik, 6 orang memilih Monarki, 2 orang memilih sistem lain, dan 1 blanko kosong.
Dari risalah sidang BPUPKI itu, kita bisa menangkap semangat besar dan mimpi nan mulia di balik pilihan bentuk negara Republik.
Pertama, penolakan terhadap model kekuasaan yang diwariskan turun-temurun. Kedua, keinginan meletakkan Indonesia di atas prinsip kedaulatan rakyat, yaitu kekuasaan yang dipilih oleh rakyat, dijalankan secara demokratis, dan bermuara pada kebaikan bersama.
Sayang seribu kali sayang, sungguh pun Indonesia masih berbentuk negara Republik, tetapi penyelenggaraan kekuasaan politiknya banyak terkontaminasi oleh politik dinasti.
Pada masa Orde Baru, politik dinasti dipertontonkan sangat telanjang. Pada 16 Maret 1998, Soeharto menunjuk anak sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana, sebagai Menteri Sosial di Kabinet Pembangunan VII.
Sebelumnya, Tutut sudah menjadi anggota MPR-RI dari Fraksi Golkar (1992-1998) berkat akses kekuasaan bapaknya. Jabatan Tutut memang singkat: hanya 2 bulan 5 hari.
Perjuangan demokrasi, yang bergandengan tangan dengan perlawanan terhadap kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), berhasil melengserkan Soeharto pada 21 Mei 1998.
Namun, pascareformasi, meskipun ada aspirasi yang kuat untuk melawan politik dinasti dan KKN, tetapi ketiadaan kekuatan progresif yang mewarnai ruang-ruang politik elektoral telah menghamparkan jalan bagi menguatnya politik oligarki dan dinasti.
Jika di masa Orba, politik dinasti dipertontonkan di level nasional, maka pascareformasi dinasti politik menjalar dari nasional hingga lokal (provinsi dan kabupaten/kota).
Muncul dinasti-dinasti politik di lokal, seperti dinasti Fuad di Bangkalan (Jawa Timur), dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, dinasti Narang di Kalimantan Tengah, dinasti Sjachroedin di Lampung, dan dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten.