DALAM riset psikologi forensik tentang pembuatan putusan yudisial, disimpulkan adanya hakim di Mahkamah Agung Amerika Serikat yang terafiliasi dengan Partai Demokrat dan ada pula yang terafiliasi ke Partai Republik.
Kubu-kubuan sedemikian rupa dihasilkan oleh perbedaan mazhab yang pada gilirannya memengaruhi perbedaan referensi dan alam berpikir masing-masing hakim saat menyidangkan suatu perkara hukum. Ini diistilahkan sebagai "Attitudinal Model".
Namun, apa yang bisa ditangkap dari pernyataan Hakim MK Saldi Isra terkait dissenting opinion-nya dalam putusan konstitusionalitas batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden?
Redaksional perkataan Hakim Saldi kuat mengindikasikan bahwa di jajaran hakim MK juga terjadi polarisasi. Namun bukan polarisasi yang dilatarbelakangi oleh perbedaan mazhab keilmuan atau pun ideologi.
Alih-alih "Attitudinal Model", dari pernyataan Hakim Saldi, terkesan kuat "Strategic Model" menjadi penyebab polarisasi itu.
Strategic Model menyanggah penjelasan normatif tentang pembuatan putusan oleh hakim, meyakini bahwa lewat putusan yang dihasilkannya hakim berusaha meraih manfaat strategis atau merealisasikan kepentingan pribadinya.
Dengan kata lain, Hakim Saldi secara implisit berkisah tentang adanya proses lancung yang mendahului keluarnya putusan MK tentang batasan usia dan penambahan norma tentang syarat berpengalaman sebagai pengelola negara.
Sadar tak sadar, deskripsi Hakim Saldi tentang latar situasi di balik putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 justru mendelegitimasi Mahkamah Konstitusi sendiri.
Pasalnya, sekali lagi, faksi-faksi yang ada di meja majelis hakim Mahkamah Konstitusi tidak terbentuk sebagaimana penjelasan Attitudinal Model, melainkan produk dari Strategic Model.
Perjodohan capres dan cawapres tertentu yang didahului oleh proses hukum yang terendus lancung itu, patut dilawan.
Perjodohan itu, terutama dari sisi pihak yang paling diuntungkan oleh putusan MK, merupakan episode susulan dari rangkaian upaya memusatkan serta memanjang-manjangkan kekuasaan yang telah berlangsung sejak sekian tahun silam.
Rangkaian upaya itu sangat mungkin bertitik tolak dari cara pandang yang sarat akan paranoia terhadap masa depan.
Masa depan dianggap tidak lagi dapat diramal, atau--lebih parah--mengancam, dan--puncaknya--membahayakan.
Logis bahwa, dengan kegelisahan separah itu, membangun kepercayaan pada orang lain teramat susah untuk dilakukan.
Berarti hanya anggota keluarga dekat yang perlu didorong menjadi guardian agar masa depan pasca-Pilpres 2024 kembali dapat diprediksi, tak lagi mengancam, dan sirna kebahayaannya.