LEBIH setengah abad silam (1972), politik Amerika Serikat gaduh tak kepalang. Dunia pun geger dibuatnya.
Bermula dari penangkapan lima orang pria yang menyusup dan mengendap, membobol kantor Komite National Partai Demokrat di Gedung Watergate, kota Washington DC.
Penangkapan ini membangkitkan adrenalin keingintahuan dua orang wartawan Washington Post, Bob Woodword dan Carl Bernstein, melakukan investigasi lebih dalam. Hasilnya, telah terjadi mega skandal politik terbesar selama sejarah Amerika Serikat.
Melalui seorang informan yang disamarkan dengan nama Deep Throat, Woodward dan Bernstein sukses gemilang membongkar kejahatan Presiden Nixon (Republikan), yang menyadap segala percakapan saingannya, Partai Demokrat, yang ketika itu, mencalonkan George McGovern sebagai Presiden AS.
Barulah pada 2005, identitas sesungguhnya Deep Throat itu ketahuan, ternyata adalah Mark Felt, Wakil Direktur Federal Bureau Investigation (FBI).
Tatkala mengadili pembobol Gedung Watergate tersebut, hakim John Siricon memiliki keyakinan kuat bahwa ini bukan sekadar pencurian biasa, tetapi persekongkolan politik luar biasa. Senat Amerika Serikat pun membentuk komite investigasi.
Lantaran tekanan yang begitu dahsyat, Presiden Richard Nixon akhirnya mengakui bahwa ia mengetahui penyadapan-penyadapan tersebut. Sesuatu yang sebelumnya selalu ia sangkal.
Mahkamah Agung Amerika Serikat mendesak Nixon menyerahkan semua kaset penyadapan percakapan tersebut.
Nixon juga mengakui bahwa pihaknya menggunakan segala cara untuk membungkam FBI agar tidak meneruskan penyelidikannya.
Komite Kongres Amerika Serikat akhirnya mengeluarkan surat pemakzulan (impeachment) kepada Nixon. Sebelum pemakzulan itu terlaksana, Nixon menyatakan pengunduran dirinya pada 8 Agustus 1974.
Mengapa saya tiba-tiba menulis dan mengungkit kasus Watergate ini?
Semuanya digelitik oleh pernyataan terbuka Yang Mulia Presiden RI, Joko Widodo, tentang pengetahuannya mengenai keadaan isi perut para partai politik di negeri ini.
Perkenankan saya mengutip ucapan Presiden Joko Widodo: “Saya tahu dalamnya partai seperti apa, saya tahu. Partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin menuju ke mana juga saya tahu, saya ngerti. Tentu saja, sumber informasi presiden adalah Badan Intelejen Negara (BIN) ataukah BAIS."
Salahkah Presiden?
Seorang presiden meminta informasi dari lembaga negara, itu sangat sah. Tidak ada yang bisa menyoalnya.