JAKARTA, KOMPAS.com - Kericuhan di Pulau Rempang menarik perhatian Presiden Joko Widodo.
Kericuhan terjadi karena warga menolak pengembangan Rempang Eco City di pulau tersebut.
Menurut Presiden, kericuhan bisa terjadi karena komunikasi yang kurang baik.
"Ya itu bentuk komunikasi yang kurang baik, kalau warga diajak bicara, diberikan solusi. Karena di situ sebenarnya sudah ada kesepakatan bahwa warga akan diberi lahan 500 meter plus bangunan tipe 45," kata Jokowi setelah mengunjungi Pasar Kranggot di Banten, sebagaimana dilansir dari keterangan resmi pada Selasa (12/9/2023).
"Tetapi ini tidak dikomunikasikan dengan baik. Akhirnya menjadi masalah," ucap dia.
Baca juga: Bentrok di Pulau Rempang, Anies Baswedan: Investasi yang Picu Penderitaan, Perlu Dikoreksi
Oleh karena itu, Presiden menugaskan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia untuk turun langsung ke Pulau Rempang.
Tujuannya, memberikan penjelasan mengenai kesepakatan yang sudah dilakukan antara pemerintah daerah (pemda) setempat dengan masyarakat soal pengelolaan lahan yang menjadi permasalahan.
"Menurut saya nanti mungkin besok atau lusa Menteri Bahlil (Menteri Investasi) akan ke sana untuk memberikan penjelasan mengenai itu," ucap Jokowi.
Persoalan Pulau Rempang mengemuka ketika bentrokan terjadi antara warga dan tim gabungan aparat penegak hukum pada Kamis (7/9/2023).
Bentrokan ini terjadi karena warga menolak pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City di lokasi tersebut.
Petugas gabungan mendatangi lokasi pukul 10.00 WIB, sedangkan ratusan warga memblokir jalan mulai dari Jembatan 4.
Warga menolak masuknya tim gabungan yang hendak mengukur lahan dan memasang patok di Pulau Rempang.
Baca juga: Sengketa Rempang, Warga Adat, dan Kesadaran Poskolonial
Pemblokiran kemudian dilakukan dengan membakar sejumlah ban dan merobohkan pohon di akses jalan masuk menuju kawasan Rempang.
Sebelum terjadi kericuhan, warga sebenarnya sudah menolak pembangunan Rempang-Eco City.
Salah satunya karena warga sudah hidup di kawasan itu secara turun temurun.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, persoalan hukum soal kawasan Rempang sebenarnya sudah selesai.
Hanya saja, ada proses perizinan yang tumpang tindih sehingga menyebabkan konflik seperti saat ini.
"Rempang itu sebenarnya kalau masalah hukumnya sudah selesai. Jadi begini saya urutannya. tahun 2004 ada memorandum of understanding (MoU) antara Badan Pengusahaan (BP) Batam atau pemda lah ya, untuk pengembangan kawasan wisata di pulau-pulau yang terlepas dari pulau induknya," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/9/2023).
"Memang ada peraturannya (untuk pengembangan). Nah salah satunya Pulau Rempang itu. Itu diputuskan pengembangan wisata tahun 2001, 2002. Kemudian tahun 2004 ada perjanjian, MoU antara pengembang, dengan BP Batam," kata dia.
Baca juga: Mahfud Sebut Persoalan Rempang Bermula dari Tumpang Tindihnya Perizinan di Batam
Sebelum proses pengembangan dilaksanakan, kata dia, ternyata Pemda setempat sudah mengeluarkan lagi sejumlah izin kepada orang lain.
Mahfud tidak merinci izin apa yang dimaksud. Namun, dia menjelaskan bahwa saat pengembang akan masuk, di kawasan Rempang sudah ada kegiatan dan penghuninya.