JAKARTA, KOMPAS.com - Baru-baru ini, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto kembali menjajaki pembelian pesawat tempur untuk memperkuat pertahanan udara (hanud) Indonesia.
Dalam kunjungan ke The Boeing Company, St Louis, Amerika Serikat, Senin (21/8/2023), Prabowo menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen membeli 24 unit jet tempur F-15EX.
Komitmen itu belum berarti kontrak pembelian. Komitmen ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang dilakukan oleh Kepala Badan Saranan Pertahanan Kemenhan Marsekal Muda Yusuf Jauhari dan Wakil Presiden Direktur Boeing Mark Sears.
Dalam kunjungannya ke "Negeri Paman Sam", Prabowo juga menyaksikan penandatangan head of agreement (HOA) antara Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (DI) Gita Amperiawan dan Vice President of Global Business Development Sikorsky Jeff White, di pabrikan Lockheed Martin, Washington, pada Rabu (23/8/2023).
Indonesia berencana membeli 24 unit Helikopter Sikorsky S-70M Black Hawk dari pabrikan Lockheed Martin.
Sebelum ini, Indonesia juga telah memesan 42 unit jet tempur Rafale produksi Dassault Aviation, Perancis.
Indonesia telah menyelesaikan kontrak fase dua dengan Dassault Aviation. Saat ini, Indonesia tinggal menunggu kedatangan 24 unit Rafale dari Dassault.
Baca juga: Menhan Prabowo Datangi Boeing, Nyatakan Indonesia Komitmen Beli 24 Jet Tempur F-15EX
Pengamat militer dan industri pertahanan Alman Helvas Ali mengatakan, penjajakan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia ke negara-negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) atau Uni Eropa merupakan pilihan yang logis saat ini.
"Pengadaan alutsista Indonesia sebagian besar mengandalkan Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang berasal dari lembaga keuangan Barat. Lembaga keuangan Barat tidak ingin terkena sanksi dari Amerika Serikat seperti CAATSA maupun dari negara-negara Uni Eropa," kata Alman kepada Kompas.com, Rabu (30/8/2023).
CAATSA adalah kependekan dari Countering America's Adversaries Through Sanctions Act.
Itu merupakan aturan yang disahkan pemerintahan AS ketika masih di bawah kepemimpinan Donald Trump. Lewat aturan ini, AS diketahui kerap memberikan sanksi kepada negara mitranya yang membeli alutsista dari Rusia.
Sebagai contoh, Indonesia pernah berencana mengganti pesawat tempur F-5 Tiger yang habis masa pakainya, dengan Su-35 Sukhoi dari Rusia. Namun, rencana itu terkendala CAATSA.
"Selain itu, pemerintah Indonesia seperti Kementerian Keuangan tidak ingin Indonesia terkena sanksi seperti CAATSA. Sanksi CAATSA entitas yang terlibat dalam perdagangan senjata dengan Rusia. Oleh karena itu, merupakan pilihan logis bagi Indonesia saat ini untuk tidak membeli senjata dari Rusia," ujar Alman.
Selain itu, lanjut Alman, kondisi geopolitik belakangan ini membuat Indonesia harus bersikap.
"Kondisi geopolitik saat ini menunjukkan bahwa persaingan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat versus China, dan Amerika Serikat versus Rusia, perlu dilihat dari kepentingan nasional Indonesia," kata Alman.