JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Hukum Keuangan Negara serta Ahli Hukum Perhitungan Kerugian Negara dan Pemeriksa Investigasi, Hernold Ferry Makawimbang, berpendapat, kasus gratifikasi sulit dibuktikan jika hanya melalui analisis rekening.
Hal ini diungkapkan Hernold dalam sidang lanjutan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe di PN Jakarta Pusat, Rabu (30/8/2023). Hernold dihadirkan sebagai saksi ahli meringankan dalam sidang kasus suap dan gratifikasi Lukas.
"Kalau analisis rekening itu sangat sensitif. Tapi kalau tertangkap tangan tidak bisa dibantah, uang ini ada dari siapa yang memberikan dan siapa yang menerima. Tapi, kalau analisis rekening dari mana, ini sangat berisiko salah analisis dan informasi," kata Hernold menjawab pertanyaan penasihat hukum dalam sidang lanjutan, Rabu.
Baca juga: KPK Duga Lukas Enembe Punya Kerja Sama Bisnis di Singapura
Hernold menuturkan, barang bukti yang menjadi penguat dakwaan harus terukur dan relevan, serta dibuktikan di dalam pengadilan.
Ia lantas mencontohkan kerja-kerja di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika BPK melakukan investigasi maka hasil analisis rekening baru merupakan informasi awal yang perlu dibuktikan lebih lanjut.
"Harus kita buktikan lebih dalam lagi tentang bendanya, barangnya, kemudian bagaimana dia berikan, apa yang dia terima," bebernya.
"Jadi walaupun BPK menyimpulkan tentang pengelolaan keuangan negara, tetapi ini bisa saja bagian dari perbuatan melawan hukum di Pasal 14 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pasal 13 tentang Kesimpulan Kerugian Negara," imbuh dia.
Lebih lanjut, Hernold menceritakan pengalamannya dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi di Kejaksaan. Pemberian yang dikategorikan sebagai hadiah atau suap tidak bisa dibuktikan jika tidak ada bendanya.
Baca juga: Pengacara Lukas Enembe Hadirkan 3 Ahli di Sidang Lanjutan Hari Ini
Oleh karena itu, operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lebih relevan karena bukti berupa uang maupun bukti lainnya ditemukan dalam TKP.
"Jadi harus terukur, yang relevan, admissible, enggak bisa kita mengira-ngira. Kalau tidak ada bukti, itu sangat berisiko dalam suatu pengungkapan bukti kasus. Jadi harus ada bukti yang relevan dan admissible, yang terukur," jelas dia.
Sebagai informasi, Gubernur nonaktif Papua tersebut didakwa telah menerima suap dengan total Rp 45,8 miliar dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar.
Baca juga: Usut soal TPPU, KPK Duga Lukas Enembe Beli Jet Pribadi
Lukas Enembe didakwa dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Selain suap dan gratifikasi, Lukas Enembe juga dijerat kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Untuk kasus TPPU, saat ini sedang bergulir di tahap penyidikan di KPK. Belakangan, Lembaga antikorupsi mengatakan bahwa Lukas Enembe juga akan dijerat dengan dugaan korupsi penyalahgunaan dana operasional Gubernur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.