ISU politik mutakhir paling seksi menjelang Pemilu 2024, menurut saya, adalah isu keretakan hubungan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Secara inisial disebut “Teuku Umar” dan “Istana”, mengacu kediaman Megawati dan Jokowi.
Isu tersebut seksi karena kedua tokoh berperanan sangat besar dalam konstelasi politik nasional. Banyak kepentingan berkelindan di seputar isu tersebut. Benarkah retak?
Sepintas kelihatan benar. Kesan yang sampai ke publik, Jokowi berhasil “ditarik” dan “dijauhkan” dari PDIP-Megawati oleh kekuatan tertentu. Teuku Umar dan Istana tak lagi sejalan. Ini kesan publik.
Banyak peristiwa yang dibaca publik menguatkan kesan itu. Meski peristiwa-peristiwa itu sebenarnya terkait tugas-tugas pemerintahan Jokowi sebagai presiden, Prabowo Subianto sebagai menteri, Ganjar Pranowo sebagai gubernur, dan Gibran Rakabuming Raka (putra sulung Jokowi) sebagai wali kota.
Sikap relawan Jokowi dan manuver sejumlah partai politik (parpol) pendukung pemerintah, seperti PAN dan Partai Golkar tiba-tiba mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo pada 13 Agustus 2023. Padahal, sebelumnya masih tampak baik-baik saja dengan poros PDIP-Ganjar.
Juga peristiwa lain, misalnya, gugatan sejumlah pihak ke MK terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Gugatan itu dibaca publik sebagai siasat kubu Prabowo untuk mendekati Jokowi.
Caranya dengan mengupayakan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo. Usia Gibran tidak memenuhi syarat cawapres, sehingga pasal yang membatasi harus digugat.
Gugatan tersebut lalu mengundang hiruk-pikuk gugatan tandingan di MK. Sejumlah pihak meminta MK membatasi usia capres-cawapres maksimum 70 tahun, dan memasukkan syarat tambahan.
Yang mengejutkan publik, kritik Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, tentang proyek food estate. Tak seperti biasanya. Sebab, PDIP biasanya selalu membela setiap kebijakan Jokowi.
Publik lalu menafsirkan secara liar dan membentuk kesan bahwa Teuku Umar sedang tidak baik-baik saja dengan Istana. Restu Jokowi menjauh dari Ganjar yang diusung PDIP, yang saat deklarasi pada 21 April 2023, Jokowi juga hadir.
Namun, tampaknya Jokowi kegerahan juga dengan tafsir liar tersebut. Presiden merasa harus mengklarifikasinya pada Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2023. Dengan tegas Jokowi menyatakan tidak berurusan dengan capres dan cawapres.
Jokowi menegaskan dirinya bukan ketua umum parpol, bukan pula ketua koalisi parpol. Menurut Jokowi, mengacu pada ketentuan perundang-undangan, penentu capres dan cawapres adalah parpol dan koalisi parpol.
”Jadi, saya mau bilang, itu bukan wewenang saya, bukan wewenang Pak Lurah. Walaupun saya paham sudah nasib seorang Presiden untuk dijadikan paten-patenan, dijadikan alibi, dijadikan tameng,” ujar Presiden Jokowi (Kompas.id, 16/08/2023).
Kata-kata Jokowi terkesan jengkel dengan pergerakan para aktor politik yang suka berlindung di balik dirinya. Meski Jokowi pernah juga menyatakan mau “cawe-cawe” urusan transisi kepemimpinan nasional.