JAKARTA, KOMPAS.com - Usulan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) buat melakukan penataan ulang MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 supaya kembali sesuai nilai-nilai Pancasila dianggap belum mendesak.
"Faktanya tidak ada yang signifikan yang berkaitan dengan kepentingan negara dan masyarakat luas terkait perubahan konstitusi itu," kata pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi pada Jumat (18/8/2023).
"Buktinya sama sekali tidak berani gagasan itu dibawa ke dalam proses Pemilu 2024 nanti," sambung Feri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) itu juga menilai usulan yang disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti memperlihatkan keduanya tidak memahami konteks perubahan konstitusi dan ketatanegaraan.
Feri mengatakan, sampai saat ini dia belum menemukan kenyataan yang menjadi alasan supaya gagasan Bambang dan La Nyalla patut didukung.
Baca juga: Wacana MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara, PKS: Kita Siap, Asal Semua Sepakat
"Tidak lumrah perubahan konstitusi tanpa ada proses kajian yang jelas tentang apa yang mau diubah dan siapa pengusulnya," ucap Feri.
"Angka-angka soal berapa jumlah pengusul, pasal-pasal apa yang diubah itu menjadi sandaran penting untuk membahas bahwa relasi perubahan itu penting," ujar Feri.
Sebelumnya diberitakan, gagasan itu disampaikan oleh Bambang dan La Nyalla dalam pidato di Sidang Tahunan 2023 di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Menurut Bamsoet, sapaan Bambang, pada 14 Februari 2024 mendatang bangsa Indonesia akan menunaikan mandat konstitusi untuk mewujudkan demokrasi melalui pemilihan umum, untuk memilih wakil rakyat di DPR/DPD/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan peristiwa Reformasi 1998 telah melahirkan perubahan undang-undang dasar, yang sekian lama dianggap tabu untuk diubah.
Baca juga: MPR-DPD Usul Penghapusan Pilpres Langsung, PDI-P: Perlu Kajian Mendalam
Selain itu, kata Bambang, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, dan sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru. Penataan ulang itu juga terjadi kepada MPR.
"Majelis yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara. Majelis tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945," kata Bambang.
Menurut Bambang, saat ini bangsa Indonesia memutuskan pelaksanaan Pemilu 2024, dan semua pihak telah bekerja keras menyiapkannya agar berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) dan jujur serta adil (Jurdil).
Pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali.
Akan tetapi, kata Bambang, sebagaimana diketahui, pemilihan umum terkait dengan masa jabatan anggota-anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.
Baca juga: Fahri Hamzah: Wacana Amendemen UUD 1945 Tidak Boleh Mendekati Pemilu