DI TENGAH meningkatnya diskusi dan perdebatan terkait urgensi peran militer di tubuh kementerian maupun lembaga sipil, sejatinya terdapat fenomena unik yang jarang kita bahas.
Sejumlah warga sipil justru seringkali meniru dan mengorganisasikan unsur-unsur militer di dalam kehidupan berdemokrasinya.
Dalam keseharian masyarakat Indonesia, tentu kita tidak asing dengan keberadaan berbagai ormas yang menggunakan atribut maupun seragam layaknya seorang tentara siap perang.
Seperti Pemuda Pancasila, Barisan Ansor Serbaguna (Banser), maupun organisasi paramiliter yang merupakan sayap partai politik tertentu seperti Satgas Cakra Buana PDI-P, Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), serta Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG).
Selama orde baru, keberadaan kelompok sipil berseragam ala militer sejatinya merupakan wujud dari kapabilitas koersif kelompok-kelompok pemuda dan preman sokongan negara selama pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia, yang utamanya digunakan untuk mempertahankan pengaruh partai politik tertentu di level masyarakat bawah.
Liberalisasi sistem politik pascaturunnya Presiden Soeharto membuat para mantan-mantan antek dan tukang pukul rezim orde baru, bersama dengan berbagai kelompok paramiliter parpol, milisi etnis dan keagamaan, para vigilante, serta barisan wirausahawan kekerasan saling bersaing untuk memperebutkan patronase, konstituensi, dan jatah preman.
Bersama dengan ini pula, muncul berbagai organisasi masyarakat yang lebih profesional dan bersifat populis, yang nyatanya dapat menyediakan lapangan kerja, atau bahkan kesempatan bagi para anggotanya untuk terjun langsung ke dunia politik.
Loren Ryter dalam artikelnya “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto's Order” pada 1998 menyebut bahwa banyak orang kuat berlatar belakang preman di zaman orde baru, yang mampu menggunakan pengalaman dan jejaring sosial mereka untuk menjadi anggota parlemen di tingkat daerah maupun nasional.
Kepercayaan umum yang ada di masyarakat menganggap bahwa preman-preman berseragam ala tentara beserta dengan organisasinya saat ini bekerja demi tujuan elite politik yang “membekingnya”.
Lantas, apa manfaat dari eksistensi organisasi “tentara-tentaraan” semacam ini bagi para politisi dan partai politik untuk merebut kepentingan kekuasaannya?
Lalu, bagaimanakah pola hubungan antara elite dengan organisasi paramiliter tersebut?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paramiliter adalah pasukan keamanan (sipil) yang disusun layaknya pasukan militer, dan berfungsi sebagai unsur pembantu tentara.
Istilah paramiliter juga merujuk pada kekuatan sipil bersifat semi-militer yang struktur organisasi, taktik, pelatihan, kultur, serta fungsinya seringkali serupa dengan militer profesional, tetapi tidak dimasukkan sebagai bagian dari angkatan bersenjata formal suatu negara.
Menjelang pemilu pertama Indonesia pascaorde baru, tepatnya pada 1999, kehadiran berbagai satgas paramiliter menjadi sangat mencolok di tingkat jalanan ataupun masyarakat kelas bawah.
Menurut Ian Douglas Wilson dalam bukunya berjudul “The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia: Coercive Capital, Authority and Street Politics”, kehadiran kelompok-kelompok semacam ini ditengarai merupakan produk hasil kombinasi dari demokrasi dengan sistem multipartai, paradigma militerisme ala orde baru, serta logika perebutan teritorial para preman yang mengisi keanggotaan satgas-satgas tersebut.