JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyebut calon penjabat (Pj) kepala daerah yang diajukan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) lebih merupakan hasil pertarungan atau kompromi antar fraksi di DPRD.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, pihaknya telah menerbitkan tindakan korektif terkait proses pengangkatan Pj kepala daerah.
Salah satu poinnya adalah meminta proses pengangkatan Pj kepala daerah dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat.
“Lebih banyak ini adalah hasil pertarungan, hasil kontestasi atau kompromi di kalangan elite politik yang ada di fraksi-fraksi di DPRD yang bersangkutan,” kata Robert dalam konferensi pers di YouTube Ombudsman RI, Rabu (9/8/2023).
Baca juga: Ombudsman Ungkap Ada Polisi Jadi Calon Pj Gubernur tapi Belum Dapat Izin Kapolri
Robert mengaku sudah berkeliling ke berbagai daerah dan mengumpulkan informasi dari kepala Ombudsman wilayah.
Salah satu persoalan yang ditemukan adalah proses pengajuan calon Pj kepala daerah tidak transparan.
Padahal, kata Robert, pengangkatan Pj kepala daerah berbeda dari pengangkatan aparatur sipil negara (ASN) yang hanya berlangsung di kalangan internal birokrasi terkait atau elite partai di DPRD.
“Transparansi informasi dan keterbukaan proses, itu nyaris tidak kelihatan,” ujar Robert.
Baca juga: Ombudsman Sebut Masih Ada Prajurit TNI Aktif yang Diusulkan Jadi Pj Gubernur
Menurut Robert, Ombudsman nyaris tidak menemukan terdapat DPRD tingkat provinsi yang menggelar penjaringan aspirasi publik untuk mengajukan siapa calon Pj kepala daerah.
Alih-alih menjaring aspirasi, pengumuman tahapan penjaringan nama calon Pj kepala daerah juga tidak disebarkan ke publik.
“Sampai hari ini kita nyaris tidak pernah mendapatkan ada contoh bagus dari suatu daerah,” tutur Robert.
Robert mengingatkan, kewenangan Pj kepala daerah tidak lebih dan tidak kurang dari kepala daerah definitif (hasil pemilu).
Berdasarkan informasi yang Ombudsman kumpulkan di beberapa wilayah, kerja Pj kepala daerah yang sudah dilantik tidak efektif karena menghadapi banyak resistensi atau penolakan.
Hal ini tidak terlepas dari tidak dilibatkannya masyarakat secara aktif dalam proses pengangkatan mereka.
“Cukup banyak waktu dari seorang penjabat yang dihabiskan hanya untuk melakukan konsolidasi dengan masyarakat, padahal waktu kerjanya tidak lama,” tutur Robert.