JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat dinilai perlu mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lebih keras lagi dengan cara mengancam memboikot para partai politik dan politisi yang lamban dalam memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.
Sebab Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyerahkan surat presiden (Surpres) dan naskah RUU itu pada 4 Mei 2023 lalu.
Sebenarnya pimpinan DPR diharapkan membacakan surpres dalam rapat paripurna pada Selasa (11/7/2023) lalu. Namun, momen yang ditunggu-tunggu ternyata tidak terwujud.
"Masyarakat bisa menyatakan boikot terhadap Pemilu legislatif untuk tidak memilih para politisi di partai-partai yang memang lambat dalam membahas RUU Perampasan Aset," kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, saat dihubungi pada Jumat (14/7/2023).
Baca juga: Surpres RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibacakan, Arsul: Masih Ada 3 RUU Dibahas di Komisi III
Menurut Fickar, saat ini memang pimpinan DPR dan Komisi III yang harus didesak buat segera memulai pembahasan naskah RUU Perampasan Aset.
Akan tetapi, karena posisi pemerintah sebagai eksekutif dan DPR sebagai legislatif setara maka tidak ada yang bisa saling memaksa.
Meski begitu, Fickar menilai masyarakat bisa mendorong para pimpinan partai politik supaya memerintahkan para politikusnya segera memulai pembahasan RUU itu.
"Yang harus didorong sebenarnya para ketua partai untuk memerintahkan kadernya yang di DPR membahas RUU Perampasan Aset," ucap Fickar.
Baca juga: Soal RUU Perampasan Aset, Yasonna: Ya Kita Selesaikan Dong, Itu Prioritas
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan, jika DPR bisa memahami desakan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan masyarakat maka seharusnya pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana segera dilakukan dan tidak berlarut-larut.
Sebab jika pembahasan tidak segera dimulai dan para anggota DPR yang kembali mencalonkan diri lebih sibuk mengurus pemenangan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dikhawatirkan nasib RUU itu molor hingga masa sidang periode berikutnya.
"Bolanya ada di DPR. Jadi memang seharusnya kalau mereka punya paradigma menyelamatkan uang negara dari berbagai kejahatan harusnya segera dibahas," ujar Agus.
Baca juga: RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibahas, Yasonna: Kami Tak Bisa Memerintah DPR
Menurut pemberitaan sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani membeberkan alasan mengapa surpres RUU Perampasan Aset belum juga dibacakan.
“Jadi seperti yang selalu saya sampaikan, DPR sekarang ini memfokuskan untuk bisa menyelesaikan rancangan undang-undang yang ada di setiap komisinya, setiap tahun maksimal dua sesuai dengan tata terbitnya,” ujar Puan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa lalu.
Jika 2 RUU sudah diselesaikan, maka setiap komisi baru dipersilakan membahas RUU yang baru. Namun, jika target 2 RUU belum selesai dibahas, maka tidak akan berlanjut ke dalam pembahasan RUU lain.
Puan mengatakan, saat ini Komisi III DPR tengah membahas sejumlah RUU, yakni revisi UU Narkotika dan perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: Komisi III Klaim Siap Bahas RUU Perampasan Aset jika Ditugaskan Pimpinan DPR