JAKARTA, KOMPAS.com - Persatuan guru besar yang tergabung dalam Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) melayangkan petisi penolakan RUU Kesehatan pada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Petisi dilayangkan mengingat ada sejumlah isu yang dinilai berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa. Isu-isu tersebut menyangkut soal hilangnya mandatory spending hingga pasal mengenai aborsi dalam RUU Kesehatan.
Mereka menilai, berbagai aturan dalam RUU tersebut memantik destabilitas sistem kesehatan serta mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.
"Sejumlah pasal-pasal dalam RUU tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat," Kata dokter spesialis kandungan dan perwakilan FGBLP, Laila Nuranna Soedirman dalam konferensi pers secara daring, Senin (10/7/2023).
Baca juga: Pimpinan DPR Sebut Rapat Paripurna RUU Kesehatan Kemungkinan Digelar Pekan Ini
Pertama, soal mandatory spending. Dalam RUU, DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen.
Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.
Namun menurut FGBLP, penghilangan pasal justru tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO.
"Hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MP RI X/MPR/2001," kata Laila.
Baca juga: Tolak RUU Kesehatan, Forum Guru Besar Layangkan Petisi ke Jokowi dan Puan Maharani
Berbagai pasal lain yang disorot adalah soal adanya pasal-pasal terkait ruang multi-bar bagi organisasi profesi, kemudahan bagi dokter asing untuk masuk ke Indonesia, dan implementasi proyek bioteknologi medis termasuk proyek genome yang mengakibatkan konsekuensi serius pada biosekuritas bangsa. Lalu, kontroversi terminologi waktu aborsi.
"Kemudahan dokter asing untuk masuk ke negara ini, yang tidak menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia yang mash harus memerangi kemiskinan," tuturnya.
Dokter Sukman Tulus Putra yang juga tergabung dalam FGBLP menambahkan, RUU Kesehatan belum melibatkan partisipasi bermakna (meaningful participation).
Hal ini memunculkan polemik, termasuk terhadap prosedur penyusunan substansi dari RUU tersebut.
Padahal, menurut UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan tiga hal, yaitu keterlibatan yang bermakna, hak untuk didengar dan hak untuk dipertimbangkan, serta hak untuk mendapat penjelasan.
"Oleh karena itu, penyusunan dan pembahasan UU memerlukan keterlibatan yang bermakna dari seluruh pihak untuk menghasilkan produk hukum yang akan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Sukman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.