ADA satu insiden yang menegangkan ketika satu kapal perang China mendekati kapal perusak Amerika Serikat (AS) dalam jarak 137 meter di Selat Taiwan, dengan "cara yang tidak aman".
Kapal China itu memotong lintasan kapal perusak milik AS, USS Chung-Hoon, yang bersenjata rudal ketika Angkatan Laut AS dan AL Kanada sedang berlatih bersama pada Sabtu, 3 Juni 2023. Karuan saja insiden ini meningkatkan ketegangan di kawasan Indo-Pasifik.
Indo-Pasifik adalah wilayah geografis luas yang mencakup Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta negara-negara yang terletak di sekitarnya.
Di dalam wilayah ini, terdapat beberapa negara yang memiliki pengaruh politik, ekonomi, dan militer signifikan. Beberapa negara yang sering disebut sebagai pemain kunci di wilayah Indo-Pasifik adalah Amerika Serikat (AS), China, Jepang, India, dan Australia.
Para pemain kunci itu yang sangat menonjol hegemoninya adalah Amerika Serikat dan China. Keduanya adalah ekspresi kekuatan–kekuatan untuk menguasai dunia dan sekaligus kekuatan menjaga stabilitas.
Namun kedua negara ini bersaing ketat untuk memperkuat posisi dan memengaruhi dinamika politik, ekonomi, dan keamanan di wilayah Indo-Pasifik.
Apa boleh buat, pada kenyataannya perebutan pengaruh antara China dan Amerika Serikat di wilayah Indo-Pasifik ini telah menyebabkan meningkatnya ketegangan dan persaingan strategis.
Kedua negara memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan yang kompleks di wilayah ini, dan dinamika antara mereka terus berubah seiring waktu.
Hal ini berdampak pada negara-negara lain di kawasan, yang sering kali harus menavigasi hubungan yang kompleks antara China dan AS dalam kebijakan luar negeri dan keamanan mereka.
AS dan China muncul dalam sejarah sebagai kekuatan hegemonik di Indo-Pasifik, memang dimulai pada periode yang berbeda.
Namun keduanya nyaris sama, antara lain punya “nafsu” untuk menjadi kekuatan dominan di Indo-Pasifik, lantaran kawasan ini demikian strategis dalam mengukuhkan kebijakan regional, ekonomi, dan keamanan.
Maka setelah Perang Spanyol-Amerika pada 1898, yang melahirkan perjanjian, membuat AS memperoleh wilayah-wilayah baru seperti Filipina, Guam, dan Puerto Rico. Hal itu memberikan kehadiran militer AS yang begitu kuat, sehingga AS muncul sebagai kekuatan regional di Indo-Pasifik.
Tambahan lagi setelah Perang Dunia II, AS dan sekutunya melibatkan diri dalam perang melawan Jepang di wilayah Indo-Pasifik yang selanjutnya memainkan peran utama dalam pembentukan sistem keamanan di kawasan ini.
Lantas sewaktu masa Perang Dingin, AS menjadi salah satu kekuatan utama di kawasan Indo-Pasifik melalui kehadiran militer dan diplomasi yang luas.
AS membentuk aliansi dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Filipina, serta menjalankan kebijakan yang bertujuan mempertahankan kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan di kawasan ini.
Demikian pula halnya China, ia hadir di kawasan Indo-Pasifik melalui kehadiran militer dan diplomasi yang lihai.
Walau China sebagai kekuatan regional di Indo-Pasifik muncul belakangan –terutama setelah perubahan politik dan ekonomi yang signifikan di negara tersebut, namun dalam beberapa dekade terakhir, China menjadi kekuatan ekonomi dominan di kawasan Indo-Pasifik –dan dunia secara keseluruhan.
Sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an, China meluncurkan serangkaian reformasi ekonomi yang membuka negara tersebut ke pasar global dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Maka pertumbuhan ekonomi yang signifikan ini karuan saja mengiringi peningkatan kekuatan militer China –tentu saja ini semakin menancapkan pengaruh politik China yang semakin kuat di kawasan Indo-Pasifik.
Posisi Indonesia di tengah arus besar hegemoni AS dan China di Indo-Pasifik, bagaimanapun, mengharuskan geostrategis dan geopolitik Indonesia mengambil sikap lebih tegas.
Hal pertama yang harus diingat terlebih dahulu adalah bahwa Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara –dan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia—maka Indonesia wajib memainkan peran penting dalam geopolitik regional.