Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mempertanyakan Sikap Komnas HAM Dalam Kasus Penyanderaan Pilot Susi Air

Kompas.com - 08/07/2023, 10:16 WIB
Singgih Wiryono,
Ihsanuddin

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Suara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dipertanyakan dalam kasus penyanderaan pilot Susi Air Philips Mark Marthens.

Komnas HAM tak selantang biasanya, dinilai pasif, tak seperti dalam kasus kekerasan di Papua sebelumnya.

Kasus kekerasan di Papua yang terakhir kali dirilis Komnas HAM yaitu kerusuhan di Wamena, yang menewaskan belasan warga sipil di Papua.

Peristiwa kerusuhan terjadi 23 Februari 2023 dan Komnas HAM telah mengambil sikap dan menyampaikan laporannya pada 6 April 2023.

Sedangkan dalam kasus penyanderaan yang terjadi sejak 7 Februari 2023, Komnas HAM seolah lepas tangan.

Lembaga itu tidak memberikan respons tegas terkait pelanggaran HAM terkait penyanderaan Philips Marthens.

Baca juga: Tak Terlibat Aktif dalam Upaya Bebaskan Pilot Susi Air, Komnas HAM Dikritik

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro bahkan terkesan pasrah saat Kompas.com menanyakan langkah lembaganya terkait pembebasan pilot Susi Air.

Ia menyebut kasus penyanderaan adalah kewenangan pemerintah, dan Komnas HAM hanya bisa berharap agar kasus itu bisa selesai dengan damai.

"Komnas HAM tetap berharap agar kasus penyanderaan ini dapat diselesaikan dengan damai. Kewenangan penanganan kasus penyanderaan ini berada di tangan pemerintah," kata Atnike, Minggu (2/7/2023).

Sikap Komnas HAM yang seolah lepas tangan mengundang kritik dari sejumlah pihak, khususnya pegiat HAM.

Sulit berharap pada Komnas HAM

Mantan Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik mengatakan, sulit berharap kepada Komnas HAM untuk menyelesaikan konflik di Papua, termasuk untuk pembebasan pilot Susi Air.

Sebab, Komnas HAM sendiri membatalkan secara sepihak perjanjian Jeda Kemanusiaan yang pernah dibuat pada 11 November 2022 bersama Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Padahal, perjanjian itu juga didukung oleh Dewan Gereja Papua, Majelis Rakyat Papua dan tokoh-tokoh Papua lainnya.

"Sejak mereka membatalkan sepihak Jeda Kemanusiaan tanpa alasan yang kuat serta tidak ada komunikasi dengan para pihak terutama dengan teman-teman Papua, sulit mengharapkan peran mereka di Papua. Pembatalan sepihak itu menimbulkan kemarahan pihak yang mendorong Jeda Kemanusiaan di Papua," kata Taufan.

Baca juga: 5 Bulan Penyanderaan Pilot Susi Air, Negosiasi Terus Berjalan dan Presiden Angkat Bicara

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com