JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan menilai, revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa kental akan nuansa politik transaksional. Pasalnya, revisi UU ini dikebut di Parlemen jelang gelaran Pemilu 2024.
“Sangat berkaitan sekali ini dengan Pemilu 2024, ini politik transaksi kalau saya membacanya,” kata Djohan kepada Kompas.com, Rabu (5/7/2023).
Djohan mengatakan, revisi UU Desa lebih banyak menguatkan kekuasaan kepala desa (kades) ketimbang kesejahteraan rakyat desa.
Baca juga: Ketimbang Revisi UU Desa, DPR Didesak Fokus Bahas RUU Perampasan Aset
Misalnya, dalam rancangan UU (RUU) itu diatur soal penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali sebanyak dua kali, menjadi 9 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Lewat UU tersebut, diatur pula penghasilan dan tunjangan-tunjangan untuk kepala desa, termasuk uang pensiun.
Bahkan, pembuat UU mengusulkan untuk menambah besaran dana desa dari Rp 1 miliar per tahun setiap desa, menjadi Rp 2 miliar.
“Jadi ini adalah betul-betul undang-undang yang saya bilang untuk kepala desa, bukan untuk rakyat desa,” ujar Djohan.
Baca juga: Apdesi Serahkan 13 Poin Aspirasi Revisi UU Desa ke DPR, Apa Saja?
Lewat revisi UU Desa, kata Djohan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sebagai pembuat undang-undang seolah tengah bertransaksi, menukar pasal-pasal yang sengaja dibuat untuk memperluas kekuasaan kades, dengan kepentingan Pemilu 2024.
Menurut Djohan, kepala desa umumnya punya kekuatan yang besar di wilayahnya. Seorang kades mampu memengaruhi pilihan politik warga desa.
Oleh karenanya, bukan tidak mungkin UU Desa dijadikan senjata buat DPR menagih “imbalan” ke kepala desa kaitannya dengan dukungan politik untuk pemilu.
“Bahwa nanti kami (anggota DPR) sudah kasih nih Anda (kepala desa) masa jabatan, kasih kekuasaan, kasih macam-macam dana, dan juga untuk tambahan penghasilan Anda, pokoknya Anda sejahtera Pak Kades, tapi tolong kami dibantu dengan suara (saat pemilu),” ucap Djohan.
Djohan menyebut, transaksi politik dalam revisi UU Desa telah terlihat jelas sejak awal. Kepala desa-lah yang sedari awal menyuarakan penambahan masa jabatan lewat revisi UU ini.
Bahkan, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh kades di berbagai wilayah untuk menuntut perpanjangan masa jabatan.
Sampai-sampai, kepala desa terang-terangan mengancam akan menggembosi suara rakyat desa pada Pemilu 2024 jika tuntutan mereka tak dikabulkan.
Djohan pun khawatir, transaksi politik lewat revisi UU Desa ini akan mengganggu jalannya pemilu.