JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) buka suara terkait penggerebekan klinik aborsi di daerah Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Menanggapi fenomena itu, Ketua Bidang Advokasi dan Legislasi PB IDI Ari Kusuma Januarto menyebutkan, tindakan aborsi harus dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dan wewenang.
Sebab, tindakan aborsi harus dilakukan atas indikasi medis yang mengharuskan aborsi perlu dilakukan.
"Dilakukan secara prosedur, mulai dari pra tindakan sampai setelah tindakan. Ini penting sekali karena semua tujuannya untuk keselamatan. Di mana ada proses-proses dari masalah anamnesa atau adanya penyakit-penyakit pada pasien sendiri," kata Ari dalam keterangan video yang disampaikan PB IDI, Jumat (30/6/2023).
Sejatinya, kata Ari, larangan tindakan aborsi diatur jelas dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Namun, larangan dikecualikan bila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup di luar kandungan.
Baca juga: Eksekutor Aborsi di Kemayoran Tak Berlatar Belakang Medis, tetapi IRT
Bisa pula karena kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Oleh karena itu, kata dia, tindakan aborsi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Ada beberapa risiko yang perlu dilihat terlebih dahulu, mengingat seluruh tindakan medis memiliki risiko.
Risiko tersebut meliputi risiko terhadap ibu yang mengandungnya, risiko pendarahan dan pembiusan, serta risiko lainnya.
"Tidak luput juga kemungkinan adanya risiko-risiko kejiwaan (bagi ibu). Jadi mental pasien-pasien yang melakukan aborsi ini juga perlu dilakukan sesuatu pembinaan, suatu pelayanan yang cukup baik," beber dia.
Baca juga: Gerebek Klinik Aborsi di Kemayoran, Polisi: Ada 3 Orang yang Baru Gugurkan Kandungan
"Inilah pentingnya tindakan-tindakan ini dilakukan di fasilitas yang baik, dan memang harus ditunjuk oleh pemerintah," imbuhnya.
Lebih lanjut ia mengimbau masyarakat menjalankan aturan pemerintah yang berlaku saat ini, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
PP itu tetap membatasi aborsi hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat medis yang dibuktikan oleh tim ahli dan kasus pemerkosaan.
Ia pun menyoroti pentingnya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak terjadi tindakan aborsi kriminal, seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan.
"Oleh karena itu, semua pihak harus berperan dari mulai departemen agama, departemen sosial, departemen kesehatan, tentunya memberikan pelayanan terbaik agar hal ini tidak terjadi lagi," jelas dia.
Baca juga: Polisi Gerebek Rumah Praktik Aborsi di Kemayoran, 7 Orang Ditangkap