JAKARTA, KOMPAS.com - Penasihat Hukum salah satu korban gagal ginjal akibat keracunan obat sirup, Rusdianto Matulatuwa mengeklaim bahwa pemerintah enggan membayar ganti rugi atas peristiwa tersebut.
Sebab, dalam dua kali sidang mediasi di Pengadilan Jakarta Selatan, pihak-pihak tergugat kompak menyampaikan tidak memiliki kewenangan untuk membayarkan uang kompensasi terhadap korban pasien anak yang menderita penyakit ginjal kronik.
Adapun pihak tergugat dalam perkara ini adalah Kementerian Kesehatan (tergugat 1), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (tergugat II), PT Afi Farma (tergugat III), dan Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo (tergugat IV).
Baca juga: Ayah Ibnu Jamil Alami Stroke dan Gagal Ginjal Sebelum Meninggal Dunia
Juga turut tergugat Kemenkes Cq Rumah Sakit Anak Dan Bunda Harapan Kita (turut tergugat I). Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Cq Rumah Sakit Bhayangkara Tk I R.Said Sukanto (turut tergugat II), Kementerian Keuang (turut tergugat III).
Penggugatnya merupakan Eko Rachmat Saputro, orang tua korban dari seorang balita berusia 19 tahun, Raina Rahmawati. Ia meminta pihak tergugat untuk memberikan bantuan uang sejumlah Rp 4,9 juta per-bulan.
Dalam petitum gugatannya, korban juga meminta uang kompensasi dari biaya yang ditimbulkan di luar ketentuan BPJS Kesehatan.
“Seperti obat yang tidak tercover dengan BPJS dan di luar anggaran. Intinya adalah anggaran yang menunjang kesehatan korban anak gagal ginjal untuk hidup lebih baik,” kata Rusdianto dalam siaran pers, dikutip Kompas.com, Jumat (23/6/2023).
Rusdianto menyampaikan, nominal uang yang diminta ini akan dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan pengobatan korban.
Misalnya, uang tersebut akan dibelikan kebutuhan kesehatan anak seperti pembelian kasa steril, obat-obatan, dan biaya akomodasi ke rumah sakit sebanyak 2-3 kali dalam rangka melakukan proses hemodialisis atau cuci darah rutin.
Namun demikian, gagalnya mediasi, kata Rusdianto, telah memperlihatkan secara gamblang bagaimana negara abai dan tidak mau bertanggung jawab dalam kasus gagal ginjal akut pada anak.
Baca juga: Sidang Class Action Gagal Ginjal Akut Lanjut ke Pokok Perkara jika Mediasi Gagal
Padahal menurutnya, peredaran obat sirup beracun tidak lepas dari kelalaian yang dilakukan pemerintah.
“Sebagai contoh, peredaran obat-obatan tersebut ditangani langsung oleh BPOM dan Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Rusdianto menyampaikan, lalainya pemerintah ini diperkuat dengan argumentasi Komnas HAM yang telah mengeluarkan rekomendasi. Dalam rekomendasi tersebut, Komnas HAM menyebut terjadi kelalaian dari Kemenkes dan BPOM.
Oleh karena itu, ia berharap majelis hakim memberi putusan yang adil bagi korban dan pihak keluarga.
“Namun ketika itu diajukan, sepertinya semakin menegaskan di negeri ini bahwa orang miskin dilarang sakit. Akhirnya persoalan uang Rp 4,9 juta ini yang bisa menyelamatkan kehiduan nyawa anak manusia menjadi terabaikan hanya gara-gara persoalan birokrasi,” jelasnya.