SEJUMLAH partai sudah mengumumkan bakal calon presiden. Nama-nama yang muncul adalah tokoh yang selama ini memang terdeteksi paling populer dan mendapatkan elektabilitas tertinggi di publik. Mereka adalah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.
Sejauh ini, Anies Baswedan sudah didukung tiga partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Demokrat.
Ganjar Pranowo sudah didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Gubernur Jawa Tengah ini juga didukung partai non-parlemen: Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Sementara Prabowo Subianto sudah didukung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Pascapengumuman calon presiden dari beberapa partai tersebut, pembicaraan lanjutannya adalah tentang bakal calon wakil presiden (Bacawapres).
Sampai saat ini, belum ada kata sepakat di antara anggota koalisi Pilpres mengenai nama pendamping bakal calon presiden mereka masing-masing.
Tulisan ini akan mengemukakan empat faktor yang kemungkinan besar akan menjadi pertimbangan dalam penentuan calon wakil presiden tersebut: elektabilitas tokoh, latar belakang sosiologis, kualitas personal, dan partai pendukung koalisi.
Pertama, faktor elektabilitas. Faktor ini sangat penting mengingat tiga tokoh Bacapres yang paling kompetitif sejauh ini tidak ada yang benar-benar dominan.
Kejar-kejaran suara masih terjadi. Posisi atas masih fluktuatif. Bahkan tidak ada di antara mereka yang mendapatkan dukungan di atas 50 persen jika ketiganya bertarung dalam satu pemilihan.
Karena itu, jika Pilpres diiukuti oleh tiga tokoh populer ini, Pilpres kemungkinan besar akan berlangsung dalam dua putaran.
Berdasarkan data pelbagai survei saat ini, pertarungan tidak hanya akan ketat di putaran pertama, tapi juga akan sangat kompetitif di putaran kedua.
Itu sebabnya, para elite partai, Bacapres, dan pihak-pihak terkait terlihat sangat hati-hati dalam menentukan tokoh pendamping.
Bacawapres potensial adalah mereka yang kira-kira bisa menambal suara. Aspek elektabilitas tokoh akan sangat dipertimbangkan.
Dalam pelbagai jajak pendapat publik, termasuk yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), sampai saat ini tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara posisi Bacawapres dengan elektabilitas tokoh Bacapres.
Elektabilitas Bacapres lebih banyak ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan calon pendampingnya.
Karena itu, kemungkinan faktor elektabilitas ini akan diperluas pengertiannya, bukan hanya terkait elektabilitas langsung sang tokoh, tapi juga basis sosiologisnya. Ini faktor kedua.
Dalam literatur ilmu politik, pendekatan sosiologis dalam melihat perilaku pemilih sangat populer.
Dalam buku "The People’s Choice (1994)", Lazarsfeld, Berelson, dan Gauget menyimpulkan bahwa tindakan pemilih dimotivasi oleh predisposisi latennya.