JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang pria bertubuh tegap mengajak Kompas.com berkeliling pameran foto bertajuk "25 Tahun Reformasi" yang dihelat di Graha Persatuan Nasional (Pena) 98, Jakarta Pusat, Senin (15/5/2023).
"Bahaya ini kalau tembus tubuh kita," ucap Sopiyan tiba-tiba saat menunjukkan foto sembilan selongsong peluru yang dijejer di atas meja berlatar kain merah.
Sejumlah selongsong peluru tersebut, katanya, didapat secara langsung di jalanan yang dilewati oleh massa aksi saat melakukan long march dari Semanggi menuju Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
"Soeharto mengklaim tidak ada peluru tajam. Ini buktinya (ada peluru). Dapat dari jalan, kita kumpulin," tutur dia.
Baca juga: Han dan Kisah-kisah Pilu Saksi Kerusuhan Jakarta Mei 1998: Saat Penjarahan hingga Pembakaran Melanda
Ia sangat bersyukur peluru itu tidak menembus tubuh serta kawan-kawan perjuangannya. Sopiyan menyebut, dengan ditembakannya senapan berisikan peluru oleh pihak keamanan saat itu, hanyalah menunjukkan bahwa pemerintah takut akan aspirasi rakyat.
"Bahwa memang Soeharto panik saat itu, meredam demo-demo kita kan pakai senjata, setiap aspirasi dijawab dengan senjata," kata Sopiyan.
Pria itu terlihat termenung sebentar. Dia lalu melanjutkan ceritanya dengan membandingkan kebebasan demokrasi yang saat ini sangat jauh berbeda dengan zaman rezim Soeharto dulu.
"Sekarang orang banyak kritik presiden tidak diapa-apain. Dulu, ngomong 'Soeharto' aja udah ditangkap. Kita harus bersyukur zaman ini," katanya berkisah.
Baca juga: 25 Tahun Reformasi: Kisah Mahasiswa Kedokteran UKI Ubah Identitas Pasien untuk Kelabui Intel
Melanjutkan langkahnya, Sopiyan lantas berhenti di depan potret mahasiswa yang sedang berhadapan dengan pasukan tentara.
Di foto tersebut, terlihat para tentara siap dengan senapannya yang tergantung di samping celana loreng hijaunya.
"Bayangin, kita dihadapkan dengan tentara dengan senjatanya peluru semua, belum lagi gas air mata," ucapnya mengenang masa kelam itu.
Katanya, rasa nekat tiba-tiba saja muncul di benak pria yang juga turun dalam aksi reformasi 1998 tersebut, begitu pula dengan teman-temannya.
Tak terpikir membawa senjata karena Sopiyan dan teman-temannya masih terjebak dalam kungkungan kewajiban membayar uang kuliah masing-masing.
"Kita enggak bawa senjata sama sekali, (uang) dari mana? Buat bayar SPP saja susah," katanya lirih.
Bentuk perlawanan dari para massa aksi mahasiswa saat itu, menurut penuturan Sopiyan, hanyalah batu atau gelas minuman yang mereka temukan di sepanjang jalan saat long march.
"Paling ada di sekitar lapangan ya kita lempar batu, ada gelas minuman kita lempar," lanjut dia.
Baca juga: Mei 1998, Saat Jakarta Dilanda Kerusuhan Mencekam dan Ditinggal Para Penghuninya...
Sopiyan juga mengatakan saat itu banyak korban penembakan yang meninggal dunia. Hingga kini, mahasiswa dan rakyat masih meminta pertanggungjawaban negara atas jatuhnya korban-korban tahun 1998.
Berdasarkan catatan sejarah, tercatat 1.217 orang meninggal dunia, 189 perempuan diperkosa, 32 mall, 218 toko, 155 bank, 165 ruko, 81 kantor, 4 hotel, 21 rumah, dan 2 SPBU hancur dibakar dan dijarah selama kerusuhan Mei 1998.
"Kita minta makanya pelakunya ditangkap, diadili. Masih ada kok, penculik kita, teman-teman diculik, sampai sekarang belum dikembalikan. Kalau sudah dikubur mana makamnya? Kalau sudah meninggal mana jasadnya?" tanyanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.