Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Setelah 1.221 Hari Kedaruratan Covid-19...

Kompas.com - 08/05/2023, 10:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BADAN Kesehatan Dunia (WHO), Jumat (5/5/2023), menyatakan Covid-19 tidak lagi berstatus kedaruratan tertinggi kesehatan global. Namun, setelah 1.221 hari dinyatakan sebagai kedaruratan medis global, pencabutan status ini bukan akhir dari kewaspadaan atas wabah yang dipicu virus SARS-CoV 2.

"Covid-19 telah berakhir sebagai darurat kesehatan global, tetapi bukan berarti Covid-19 sudah berakhir sebagai ancaman kesehatan global," ujar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Jumat.

Hitungan 1.221 hari adalah terhitung sejak 30 Januari 2020, ketika Covid-19 dinyatakan sebagai situasi darurat yang menjadi perhatian global. Waktu itu, kasus dan kematian baru dilaporkan terjadi di China. Adapun Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global adalah pada 11 Maret 2020. 

Sejak saat itu, kata Tedros, tercatat ada setidaknya 7 juta kematian akibat Covid-19. Namun, Tedros meyakini angka sebenarnya jauh lebih tinggi, bisa mencapai kisaran melebihi 20 juta kematian.

Baca juga: Status Darurat Global Dicabut, Peluang Covid-19 Merebak Lagi Masih Ada

Yang terburuk untuk dilakukan setelah pencabutan status tertinggi kedaruratan medis global ini, tegas Tedros, adalah bila negara-negara di dunia lalu lengah, membongkar sistem yang dibuat saat penanganan pandemi, apalagi mengumumkan bahwa bahaya Covid-19 sudah berlalu.

Bahkan hingga sepekan sebelum pengumuman ini dibuat, kata Tedros, Covid-19 merenggut satu nyawa setiap tiga menit. Ini belum lagi ada jutaan orang yang masih berjuang di ruang perawatan intensif dan atau mereka yang harus berjibaku dengan masalah kesehatan jangka panjang setelah terpapar Covid-19 (long Covid-19). 

"Virus ini masih ada, masih membunuh, dan masih terus berubah," tegas Tedros.

Pencabutan status kedaruratan tertinggi, kata Tedros, mesti dimaknai sebagai waktu bagi negara-negara di dunia untuk beralih dari mode darurat ke pengelolaan berkelanjutan penanganan Covid-19.

Tragedi terbesar

Tak hanya menjadi penyakit yang teramat mematikan, kecam Tedros, Covid-19 adalah tragedi terbesar kemanusiaan karena kurang koordinasi, kurang kesetaraan, dan kurang solidaritas.

"(Ini menyebabkan) nyawa hilang, (yang) seharusnya tidak," ujar Tedros.

Menurut Tedros, masyarakat dunia harus berjanji ke diri sendiri dan anak cucu untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Terlebih lagi, penyebab semua kesalahan ini "sekadar" misteri asal mula Covid-19.

Baca juga: Dua Tahun Pandemi dan Sederet Peristiwa yang Mengiringinya...

Bahkan, saat vaksin Covid-19 menembus rekor dalam pembuatannya, keserakahan dan ketidaksetaraan menjadi potret buram lain lagi dari tragedi ini. Negara-negara kaya menimbun vaksin, sementara negara-negara miskin harus berjuang selama berbulan-bulan untuk mendapatkan setiap dosis vaksin.

Belum lagi, gerakan antivaksin dan misinformasi yang bertebaran di media sosial, menjadi tambahan persoalan lain sepanjang perjalanan pandemi Covid-19. Ini masih ditingkahi ketidaksetaraan dalam akses ke perawatan dan layanan kesehatan.

Baca juga: Wawancara Khusus Menlu Retno Marsudi - Diplomasi Vaksin: Membuka Akses, Meratakan Jalan

Dunia memotret antrean panjang warga Brasil menunggu oksigen untuk kerabat yang terpapar Covid-19. Juga, tumpukan kayu pemakaman yang memenuhi trotoar di New Delhi, India, ketika jenazah menumpuk pada awal 2021.

"Kita tidak bisa melupakan api unggun itu. Kita tidak bisa melupakan kuburan yang telah digali (untuk para korban Covid-19)," ujar sendu pimpinan teknis WHO untuk Covid-19, Maria Van Kerkhove.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com